Wasit Indonesia vs Bahrain Leg 1
score.co.id – Pertandingan leg pertama kualifikasi Piala Dunia 2026 antara Indonesia dan Bahrain pada 10 Oktober 2024 di Stadion Nasional Bahrain, Riffa, memang menjadi sorotan besar, terutama karena peran wasit Ahmed Abu Bakar Said Al Kaf. Drama waktu tambahan yang berujung pada skor imbang 2-2 telah memicu emosi penggemar, protes resmi dari PSSI, dan diskusi luas tentang integritas perwasitan di sepak bola Asia. Mari kita tinjau lebih dalam profil Al Kaf serta kontroversi yang terjadi, dengan perspektif yang seimbang dan kritis.
Profil Ahmed Al Kaf: Pengalaman vs Reputasi
Ahmed Al Kaf, wasit asal Oman berusia 42 tahun (per Maret 2025), adalah figur berpengalaman di kancah sepak bola internasional. Sejak menjadi wasit FIFA pada 2010, ia telah memimpin 114 pertandingan dengan statistik yang mencerminkan gaya tegas: rata-rata lebih dari tiga kartu kuning per laga dan beberapa kartu merah. Prestasinya memimpin final AFC Champions League 2016 dan putaran kedua final 2018 menunjukkan bahwa ia dipercaya untuk menangani pertandingan berisiko tinggi. Namun, pengalaman ini juga datang dengan catatan kontroversi, seperti keputusan penalti yang dipertanyakan dalam laga AFC U-23 2020 antara Arab Saudi dan Thailand, yang menunjukkan pola kepemimpinan yang kadang terlalu subjektif atau kurang konsisten dengan teknologi VAR.
Dalam konteks Indonesia vs Bahrain, reputasi Al Kaf sebagai wasit elit justru menjadi pedang bermata dua. Pengalamannya seharusnya menjamin pengelolaan laga yang adil, tetapi keputusan-keputusannya malah memperkuat narasi bahwa bahkan wasit berpengalaman bisa membuat kesalahan yang signifikan—atau, bagi sebagian pihak, tampak bias.

Kontroversi Utama: Waktu Tambahan dan Penggunaan VAR
Inti dari kontroversi adalah keputusan Al Kaf untuk memperpanjang waktu tambahan melampaui enam menit yang diumumkan, hingga mencapai menit ke-99, saat Bahrain menyamakan kedudukan melalui gol Mohamed Marhoon. Dalam aturan IFAB (International Football Association Board), waktu tambahan memang bersifat fleksibel dan merupakan hak prerogatif wasit untuk menyesuaikan durasi berdasarkan kejadian di lapangan, seperti cedera atau penghentian permainan. Namun, tanpa penjelasan yang jelas tentang apa yang membenarkan tambahan tiga menit lebih, keputusan ini terlihat sewenang-wenang di mata banyak pihak, terutama karena pertandingan langsung diakhiri setelah gol Bahrain tercipta.
Penggunaan VAR yang minim juga memperparah situasi. Gol penyeimbang Bahrain, yang terjadi di menit-menit akhir, seharusnya bisa diperiksa untuk memastikan tidak ada pelanggaran, seperti potensi offside. Ketidakjelasan apakah Al Kaf memilih untuk tidak memanfaatkan VAR atau memang tidak ada indikasi pelanggaran yang cukup kuat menambah bahan bakar pada tuduhan ketidakadilan. Jika dibandingkan dengan gol Ragnar Oratmangoen untuk Indonesia yang dicek VAR pada babak pertama, inkonsistensi ini semakin menonjol dan memicu pertanyaan tentang standar keputusan Al Kaf.
Reaksi dan Dampak: Dari Emosi ke Diplomasi Olahraga
Reaksi publik Indonesia sangat keras, dengan media sosial menjadi wadah utama untuk melampiaskan kemarahan. PSSI, melalui Arya Sinulingga, dengan cepat mengirim surat protes ke FIFA dan AFC, menyoroti dugaan kecurangan waktu tambahan dan meminta evaluasi menyeluruh. Hingga Maret 2025, belum ada keputusan resmi dari kedua organisasi tersebut, yang menunjukkan proses penanganan keluhan semacam ini sering kali lambat atau tidak membuahkan hasil konkret bagi tim yang merasa dirugikan.
Di sisi lain, Bahrain menghadapi tekanan balik dari netizen Indonesia, hingga BFA harus menutup kolom komentar di media sosial mereka. Situasi ini bahkan memengaruhi rencana pertandingan leg kedua, dengan Bahrain menyuarakan kekhawatiran keamanan untuk bermain di Indonesia—isu yang kemudian ditanggapi PSSI dengan jaminan bahwa Indonesia mampu menggelar laga internasional dengan aman, sebagaimana terbukti pada Piala Dunia U-17 2023.
Perspektif Kritis: Benarkah Ada Bias atau Hanya Kesalahan Manusia?
Tuduhan bias terhadap Al Kaf, terutama karena ia berasal dari negara Teluk (Oman) seperti Bahrain, adalah spekulasi yang sulit dibuktikan tanpa bukti konkret seperti komunikasi atau intervensi eksternal. Dalam sepak bola, keputusan wasit sering kali diinterpretasikan melalui lensa emosional, terutama saat hasilnya merugikan salah satu pihak. Namun, pola kepemimpinan Al Kaf—tegas namun kadang kurang transparan dalam situasi krusial—mem确kan bahwa kritik terhadapnya bukan tanpa dasar. Inkonsistensi dalam penggunaan VAR dan pengelolaan waktu tambahan adalah poin yang sah untuk diperdebatkan, meskipun tidak serta-merta membuktikan adanya kecurangan.
Dari sisi lain, Indonesia juga perlu introspeksi. Keunggulan 2-1 hingga menit-menit akhir menunjukkan performa solid, tetapi kebobolan di fase krusial mengindikasikan celah dalam organisasi pertahanan yang tidak sepenuhnya bisa disalahkan pada wasit. Kontroversi ini, meski menyakitkan, seharusnya menjadi motivasi untuk lebih tajam di leg kedua.
Proyeksi ke Depan: Leg Kedua dan Implikasi Lebih Luas
Leg kedua melawan Bahrain akan menjadi ujian besar bagi Indonesia, baik dari segi strategi maupun mental. Kontroversi leg pertama bisa menjadi pendorong semangat, tetapi juga risiko memunculkan ketegangan tambahan jika wasit berikutnya kembali membuat keputusan yang dipertanyakan. Bagi Al Kaf, kariernya kemungkinan tidak akan terlalu terguncang oleh insiden ini, mengingat rekam jejaknya yang kuat, tetapi reputasinya di kalangan penggemar Asia Tenggara jelas terpukul.
Secara lebih luas, kejadian ini menyoroti perlunya AFC meningkatkan pelatihan wasit dan transparansi dalam penggunaan teknologi seperti VAR. Jika protes PSSI membuahkan evaluasi serius, ini bisa menjadi langkah menuju standar perwasitan yang lebih konsisten di Asia. Namun, tanpa tindakan nyata, kepercayaan terhadap otoritas sepak bola regional akan terus terkikis.
Kesimpulan
Ahmed Al Kaf adalah wasit berpengalaman yang, dalam laga Indonesia vs Bahrain, tersandung dalam keputusan yang memicu kontroversi besar. Waktu tambahan yang diperpanjang dan penggunaan VAR yang dipertanyakan telah menjadikannya target kemarahan, meskipun bukti bias tetap spekulatif. Bagi Indonesia, insiden ini adalah pengingat bahwa sepak bola adalah perpaduan antara skill, strategi, dan—kadang—faktor di luar kendali seperti keputusan wasit.
Fokus kini harus beralih ke leg kedua, di mana Garuda punya kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar korban kontroversi. Drama di Riffa mungkin telah berlalu, tetapi ceritanya masih jauh dari selesai.