Score – Pusat Studi Kebudayaan (PSK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menciptakan sebuah mainan yang dapat digunakan untuk mengedukasi anak-anak terkait mitigasi bencana dari perspektif budaya.
Plt Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM Sri Ratna Saktimulya di Yogyakarta, Senin, mengatakan produk mainan semi digital bernama Truwelumemuat piwulang atau ajaran leluhur yang terdapat dalam manuskrip kuno dan cerita rakyat yang selanjutnya diolah dan disampaikan dalam kemasan modern.
“Produk ini dikembangkan dengan mengadopsi konsep permainan papan ular tangga. Pengembangan Truwelu dilakukan bekerja sama dengan Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM,” kata Ratna.
Dia menjelaskan Truwelu diambil dari perpaduan kata TRUsthayang artinya senang, Wigya artinya pandai, Ediartinya indah, serta LUhurberarti luhur.
Secara keseluruhan, kata dia, Truwelu diartikan sebagai proses pendidikan yang dilandasi rasa senang akan menambah kepandaian nan indah serta luhur.
Ratna menuturkan produk Truwelu dikembangkan dalam bentuk permainan semi digital berbasis pada website sehingga lebih mudah diakses namun tetap mengedepankan bentuk fisik papan permainan yang nyata untuk keberlangsungan interaksi antar pemain.
Menurut dia, permainan Truwelu memuat pertanyaan sebagai sarana pembelajaran terkait mitigasi bencana.
Selain itu, juga terdapat menu kawruhyang berisi informasi terkait kepercayaan atau budaya lokal terkait bencana yang terjadi.
Truwelu ini bisa dimainkan oleh dua sampai empat pemain. Dalam satu permainan bisa menggunakan satu smartphone dari salah satu pemain dengan mengakses truweluboardgame.id atau memindai QR code yang tersedia.
“Permainan Truwelu ini sudah disosialisasikan di SMP 1 Cangkringan. Ke depan akan disosialisasikan ke lebih banyak tempat lagi,” ujar dia.
Istri Wakil Gubernur DIY Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam atau akrab dipanggil Gusti Ratu yang sekaligus Bunda Literasi DIY menyampaikan rasa bangga atas upaya yang dilakukan UGM, khususnya Pusat Studi Kebudayaan dengan kekhasannya telah terjun langsung dalam menggalakkan literasi berbasis budaya di berbagai lapisan masyarakat.
“Khas karena karya Pusat Studi Kebudayaan telah mengangkat piwulangatau ajaran para leluhur yang masih tersimpan rapat dalam manuskrip kuno berhuruf dan berbahasa Jawa yang selanjutnya disajikan dengan kemasan yang cukup milenial,” kata dia.
Ajaran para pendahulu, kata dia, termasuk Ki Hadjar Dewantara dalam kehidupan yang akan datang sangat dibutuhkan bagi generasi muda agar tidak tercerabut dari akar budaya bangsa.
Terlebih di tengah laju globalisasi yang begitu deras membawa berbagai dampak bagi kehidupan.
“Mari bergandengan tangan untuk tumbuhkan literasi. Saya juga mengucapkan terima kasih atas upaya yang dilakukan Pusat Studi Kebudayaan UGM dalam menguatkan literasi budaya bagi kemajuan bangsa dan negara,” ujar dia.