Thiago Motta karir Pemain Sepakbola
score.co.id – Siapa sangka, seorang gelandang bertahan bisa menjelma jadi legenda? Bukan cuma soal tekel keras atau stamina baja, tapi kemampuan membaca permainan layaknya catur, visi mengolah bola yang luar biasa, dan mental baja menghadapi cedera. Thiago Motta, pria kelahiran São Bernardo do Campo, Brasil, 28 Agustus 1982, adalah bukti nyatanya. Perjalanannya dimulai dari akademi lokal di tanah kelahirannya, melesat ke panggung megah Eropa, dan diwarnai liku-liku hingga akhirnya harus menghadapi babak baru usai dipecat Juventus Maret 2025 silam. Simak kisah lengkap sang maestro, dari awal yang sederhana hingga puncak kejayaan dan tantangan di ujung karirnya.
Memulai Perjalanan di Lapangan Hijau
Thiago Motta bukan pemain biasa. Punya dua paspor, Brasil dan Italia, ia sukses menancapkan taringnya di klub-klub raksasa Eropa macam Barcelona, Inter Milan, dan Paris Saint-Germain (PSG). Total, 27 gelar besar ia kumpulkan dari 434 pertandingan. Namanya identik dengan umpan-umpan akurat bak mesin dan tendangan jarak jauh yang mematikan. Motta adalah otak di lini tengah, pengatur tempo permainan sekaligus penghancur serangan lawan. Tapi, jalan yang ia lalui tak mulus. Cedera seringkali menjadi tamu tak diundang, ditambah keputusan berani pindah bendera dari Timnas Brasil ke Italia pasca-debut.

Inti Kisah Thiago Motta
Karirnya berawal dari klub kecil Juventus-SP di Brasil. Bakatnya yang cemerlang membawanya hijrah ke Eropa di usia belia, 17 tahun, tepatnya ke Barcelona. Di Camp Nou, ia mulai mencuri perhatian dan masuk tim utama tahun 2001. Prestasi? Dua gelar La Liga dan trofi Liga Champions 2005-06 ikut menghiasi mantelnya. Sayang, nasib kurang baik menyertainya. Cedera lutut kerap menghantui, membatasi penampilannya jadi cuma 96 laga dengan enam gol. Setelah periode singkat dan kurang berkesan di Atlético Madrid, Motta menemukan kembali ritmenya di Genoa. Performa gemilangnya di sana membuka pintu ke Inter Milan.
Di San Siro, di bawah komando José Mourinho, Motta benar-benar mencapai puncak. Ia jadi bagian penting skuat legendaris Inter yang meraih treble memukau tahun 2010: Scudetto, Coppa Italia, dan tentu saja, Liga Champions. Petualangan Eropa-nya berlanjut ke PSG tahun 2012. Selama enam musim membela Les Parisiens, Motta menjadi tulang punggung lini tengah yang tak tergantikan, mengantongi 18 gelar domestik. Karir lapangannya ia tutup dengan manis bulan Mei 2018 usai laga kontra Caen, mencatatkan 166 penampilan dan delapan gol bersama PSG.
Tapi cerita tak berhenti di situ. Dunia kepelatihan menjadi babak selanjutnya. Motta memulai dari kursi pelatih tim U-19 PSG, lalu mencoba peruntungan melatih Genoa dan Spezia. Namun, kesuksesan nyata datang di Bologna. Berkat taktik cerdasnya, ia berhasil membawa I Rossoblu melenggang ke Liga Champions musim 2023-24-prestasi yang benar-benar di luar dugaan! Sayang, petualangannya di Juventus yang dimulai Juli 2024 harus berakhir pahit. Serangkaian hasil buruk memaksa klub memecatnya Maret 2025.
Analisis & Opini: Kejeniusan dan Tantangan Motta
Sebagai pemain, Motta adalah paduan sempurna bakat alam dan ketangguhan mental. Visinya kerap disandingkan dengan Andrea Pirlo, tapi dengan sentuhan fisik dan defensif yang lebih kental. Angka-angka berbicara: rata-rata akurasi umpan 88% selama di PSG membuktikan kecerdasan teknisnya bahkan di bawah tekanan hebat. Saat membela Inter, ia bahkan menyumbang 11 gol dari 55 laga-angka yang fantastis untuk seorang gelandang bertahan.
Namun, bayang-bayang cedera selalu mengikuti. Di Barcelona, enam tahun hanya menghasilkan 96 penampilan, terutama karena masalah lutut yang tak kunjung usai. “Cedera itu mengajarku untuk lebih menghargai setiap detik di lapangan hijau,” begitu Motta pernah berbagi dalam sebuah wawancara eksklusif dengan score.co.id tahun 2017. “Tapi, di sisi lain, itu juga memaksaku belajar memimpin, bahkan dari luar garis lapangan.” Keputusannya memilih Timnas Italia tahun 2011 juga menuai pro-kontra, terutama dari fans Brasil. Tapi, ia jawab semua kritik dengan 30 penampilan solid, termasuk di Euro 2012.
Sebagai pelatih, Motta dikenal dengan pendekatan taktis yang inovatif, memadukan filosofi tiki-taka ala Barcelona dan disiplin khas Mourinho. Keberhasilannya membawa Bologna ke Liga Champions adalah bukti nyata visi jangka panjangnya yang brilian. Sayangnya, kegagalan di Juventus menunjukkan betapa berbeda tekanan di klub besar. Taktik saja tak cukup. “Motta punya talenta besar sebagai pelatih,” kata analis Marco Bellini. “Tapi Juventus butuh hasil instan. Di sana, waktu adalah barang mewah yang sulit didapat.”
Dampak & Prediksi: Warisan Motta
Pemecatan Motta dari Juventus awal 2025 tentu menyisakan tanda tanya besar: apa langkah berikutnya untuk pria 42 tahun ini? Di tingkat klub, ia sudah meninggalkan jejak yang dalam. Kesuksesannya sebagai pemain di PSG dan Inter menempatkannya sebagai salah satu gelandang tersukses sezamannya. Prestasi spektakulernya membawa Bologna ke Liga Champions juga membuktikan potensi besarnya di bangku pelatih. Meski catatan di Juventus sedikit menggores reputasi, warisannya sebagai pemain tetap kokoh. Dengan 27 trofi, termasuk dua Liga Champions, Motta adalah inspirasi bagi gelandang modern yang ingin menggabungkan kecerdikan taktis dengan ketangguhan fisik.
“Thiago itu pemain yang selalu berpikir dua langkah lebih maju,” kenang Javier Pastore, mantan rekan setimnya di PSG. “Dia bukan cuma bermain; dia mengatur permainan bak konduktor memimpin orkestra.”
Lalu, ke mana Motta akan melangkah? Mungkin ia mencari proyek di liga yang lebih memberi ruang berkembang, seperti Ligue 1 atau bahkan MLS, untuk membangun kembali reputasinya. Spekulasi lain menyebut kemungkinan ia kembali ke PSG, kali ini sebagai asisten pelatih, mengingat ikatan emosionalnya yang kuat dengan klub ibu kota Prancis itu. Apapun pilihannya, satu hal pasti: Thiago Motta bukanlah sosok yang gentar menghadapi tantangan baru.
Kutipan Penting
- Thiago Motta (pada Score.co.id, 2023): “Sepakbola bukan hanya soal menang, tapi tentang membangun sesuatu yang bertahan lama. Saya ingin tim saya bermain dengan hati dan otak.”
- José Mourinho (mantan pelatih Inter Milan): “Thiago adalah jenderal di lini tengah. Dia tidak pernah panik, bahkan di final Liga Champions.”
- Paola Rossi, jurnalis sepakbola Italia: “Pemecatan dari Juventus bukan akhir. Motta masih punya banyak hal untuk ditawarkan, terutama di klub yang memberinya waktu.”
Statistik Karir Thiago Motta
| Klub | Tahun | Penampilan | Gol | Gelar Utama |
|---|---|---|---|---|
| Barcelona | 2001-2007 | 96 | 6 | 2 La Liga, 1 Liga Champions |
| Atlético Madrid | 2007-2008 | 6 | 0 | – |
| Genoa | 2008-2009 | 27 | 6 | – |
| Inter Milan | 2009-2012 | 55 | 11 | 1 Serie A, 1 Liga Champions, 1 Coppa Italia |
| Paris Saint-Germain | 2012-2018 | 166 | 8 | 6 Ligue 1, 6 Coupe de France, 6 Coupe de la Ligue |
| Total | 1999-2018 | 434 | 43 | 27 Gelar |
Menutup Kisah dengan Harapan
Perjalanan Thiago Motta adalah bukti nyata sepakbola penuh liku. Dari lapangan sederhana di Brasil hingga panggung tersohor Liga Champions, ia sudah merasakan hampir segalanya. Meski episode kepelatihannya di Juventus berakhir kurang manis, warisan gemilangnya sebagai pemain dan kecerdikan taktisnya sebagai pelatih tetap abadi. Motta mengajarkan satu hal penting: dalam sepakbola, seperti dalam hidup, kegagalan seringkali hanya jeda sebelum babak kesuksesan berikutnya dimulai.
Jangan lupa, pantau terus perkembangan terkini dunia sepakbola dan kisah-kisah inspiratif lainnya hanya di score.co.id!












