SCORE.CO.ID – Malam tanggal 9 Oktober 2025 nanti, udara di King Abdullah Sports City Stadium, Jeddah, akan terasa berbeda. Di bawah sorot lampu yang menyilaukan, Timnas Indonesia akan memulai babak terakhir dari sebuah perjalanan suci menuju Piala Dunia 2026.
Tapi, jangan berburuk sangka dulu, Indonesia sebenarnya punya banyak taktik formasi melawan tim-tim timur tengah. Meskipun laga pertama, lawan pertama, adalah sang raksasa tuan rumah, Arab Saudi. Ini bukan sekadar pertandingan; ini adalah pernyataan.
Namun, di tengah derap langkah persiapan, sebuah kabar kurang sedap berembus. Sang ujung tombak andalan, Ole Romeny, dipastikan menjadi penonton. Pisau bedah yang dijalaninya pada pertengahan Juli menjadi vonis bahwa ia butuh waktu panjang untuk kembali menemukan keganasannya.
“Sudah diputuskan Ole Romeny akan menjalankan operasi hari Kamis. Jadi recovery-nya cukup panjang,” begitu ucapan tegas Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang mengkonfirmasi absennya sang penyerang.
Sebuah kehilangan? Tentu. Tapi bagi seorang ahli strategi sekelas Patrick Kluivert, kehilangan satu bidak berarti membuka ribuan kemungkinan baru di papan catur taktik. Di sinilah, sebuah ramalan tentang formasi “mengerikan” mulai terbentuk.
Bayangkan Kluivert di ruang taktik, merancang sebuah sistem 3-4-3 yang cair dan mematikan. Ini bukan formasi biasa, ini adalah sebuah tarian perang yang dirancang untuk meredam kekuatan Arab Saudi dan menghantam mereka saat lengah.
Babak Pertama: Pembangunan Benteng Tiga Menara
Di bawah mistar gawang, berdiri kokoh Emil Audero, penjaga gawang dengan ketenangan dan pengalaman Eropa. Di depannya, sebuah benteng tiga menara yang menakutkan dibangun. Mees Hilgers, Jay Idzes, dan Justin Hubner. Tiga bek tengah modern yang tak hanya tangguh dalam bertahan, tetapi juga piawai memulai serangan dari lini belakang. Mereka adalah tembok pertama yang harus ditembus The Green Falcons.
Babak Kedua: Mesin Ganda di Jantung Permainan
Jantung permainan Garuda akan ditenagai oleh empat gelandang. Di sisi sayap, ada dua piston tanpa lelah: Kevin Diks di kanan dan Calvin Verdonk di kiri. Mereka bukan sekadar bek sayap, mereka adalah senjata yang siap menusuk dari sisi lapangan, memberikan umpan silang, dan kembali bertahan dengan kecepatan kilat.
Sementara di pusat, maestro Thom Haye akan berduet dengan sang perusak, Joey Pelupessy. Haye bertugas mengatur ritme dengan visi bermainnya yang brilian, sementara Pelupessy menjadi perisai pertama di depan barisan pertahanan, memutus alur serangan lawan tanpa kompromi.
Babak Ketiga: Trisula Baru Penebar Teror
Inilah jawaban atas absennya Romeny. Di lini depan, sebuah trisula baru yang tak terduga siap menebar teror. Di sisi kiri, Ragnar Oratmangoen dengan sihirnya siap mengobrak-abrik pertahanan lawan. Di sisi kanan, sebuah nama kejutan yang mungkin sudah menjadi WNI saat itu, Miliano Jonathans, winger lincah dari FC Utrecht yang akan menjadi elemen tak terduga.
Dan sebagai ujung tombak, peran predator dipercayakan kepada Mauro Zijlstra. Sosoknya yang kuat dan naluri golnya yang tajam diharapkan menjadi titik fokus serangan, pemantul bola, sekaligus penyelesai akhir yang kejam di kotak penalti.
Mengapa formasi ini begitu menjanjikan? Ingatlah, skuad Garuda saat ini jauh lebih kuat dibandingkan saat mereka menahan imbang Arab Saudi 1-1 pada September 2024.
Di sisi lain, keangkeran kandang Arab Saudi pun sedikit memudar, terbukti dari catatan mereka yang hanya meraih satu kemenangan dari lima laga kandang di babak ketiga.
Malam itu di Jeddah, mungkin bukan nama-nama yang paling sering kita dengar yang akan menjadi pahlawan. Tapi sebuah sistem, sebuah kesatuan dari 11 pemain yang bergerak dalam harmoni taktik Patrick Kluivert.












