Sejarah Rekor Terburuk Liverpool
score.co.id – Dua angka itu, 1954 dan 2025, terpaut lebih dari tujuh dekade. Namun, di hati penggemar Liverpool, keduanya membangkitkan getaran yang sama: kegelisahan akan kemerosotan. Klub dengan enam trofi Liga Champions dan sembilan belas gelar liga itu memiliki sejarah gemilang, namun terselip juga lembaran hitam yang menjadi pengingat betapa rapuhnya kejayaan. Saat performa jeblok musim 2025-26 mulai menampakkan pola yang mengingatkan pada bencana terdahulu, menarik untuk menyelam lebih dalam, membandingkan dua era kegelapan yang terpisah jauh ini. Ini bukan sekadar nostalgia atau kepanikan prematur, melainkan eksplorasi akar masalah, pola kemunduran, dan konteks sejarah yang membedakan sebuah degradasi absolut dengan sebuah krisis dalam proses.
Kegagalan Total 1954: Titik Nadir yang Mengguncang Fondasi
Musim 1953-54 tidak bisa disangkal lagi adalah standar emas—atau lebih tepatnya, standar timah—untuk mengukur kemerosotan Liverpool. Ini adalah satu-satunya musim di mana The Reds harus terdegradasi dari divisi teratas Inggris, sebuah aib yang dalam pada identitas klub.

Analisis Runtuhnya Pertahanan dan Mental
Statistiknya sungguh suram. Finis di posisi juru kunci, 28 poin dari 42 laga, hanya 9 kemenangan, dan kebobolan 97 gol. Angka-angka itu berbicara tentang sebuah tim yang benar-benar kehilangan arah. Run buruk 15 pertandingan tanpa kemenangan dari Desember hingga Maret adalah bukti keruntuhan mental dan taktis yang parah. Pertahanan mereka seperti selembar kertas robek, kebobolan lima gol dari Portsmouth, Manchester United, dan West Bromwich Albion. Meski memiliki penyerang seperti Sammy Smyth yang mencetak 13 gol, itu ibarat menimba air dengan ember berlubang. Faktor usia skuad dan minimnya regenerasi menjadi tumor ganas yang akhirnya mengharuskan amputasi: degradasi.
Konteks era pasca-perang membuat pemulihan lebih sulit. Degradasi ini memutus 49 tahun kehadiran tak tergangaskan di divisi elit. Namun, justru di titik terendah inilah benih kebangkitan ditabur. Kekecewaan itu memaksa klub untuk merombak total, sebuah proses yang akhirnya mengantar Bill Shankly beberapa tahun kemudian dan melahirkan dinasti. Degradasi 1954 adalah luka bersejarah sekaligus katalisator transformasi terbesar klub.
Kemerosotan 2025: Krisis Modern di Bawah Bayang-bayang Sang Legenda
Lompatan ke musim 2025-26 menyajikan sebuah krisis yang berbeda sifatnya, namun sama mengkhawatirkannya. Di bawah bayang-bayang panjang kepergian Jurgen Klopp, Arne Slot menghadapi tantangan yang mengerikan. Hingga Desember 2025, performa Liverpool jauh dari ekspektasi juara bertahan.
Membedah Data dan Pola Kekalahan Beruntun
Angkanya mungkin tak seekstrem 1954, tetapi polanya mengganggu. Posisi ke-8 klasemen, dengan catatan 7 menang dan 6 kalah dari 13 laga—tidak ada satu pun hasil imbang. Yang paling mencengangkan adalah run 9 kekalahan dalam 12 pertandingan terakhir di semua kompetisi. Kekalahan beruntun dari Manchester United, Brentford, Manchester City, Nottingham Forest, dan PSV Eindhoven menunjukkan sebuah masalah sistematis, bukan sekadar ketidakberuntungan.
“Ketika Anda kalah tiga kali beruntun tanpa mencetak satu gol pun, itu bukan lagi soal kebetulan. Itu adalah tanda ada yang salah secara fundamental dalam keseimbangan tim,” ujar seorang analis taktis Premier League, menyoroti kekalahan 0-3 dari City dan Forest.
Statistik expected goals (xG) justru memperdalam teka-teki. Dengan xG difference +5.0 (xG 20.8 vs xGA 15.8), data menunjukkan Liverpool seharusnya memiliki poin lebih banyak. Ini mengindikasikan underperformance yang parah, terutama di akhir lini pertahanan dan efisiensi finishing. Pertahanan yang kebobolan 20 gol di liga dan 10 gol di Liga Champions menunjuk pada masalah organisasi dan konsentrasi, sebuah kemewahan yang tidak boleh dimiliki tim papan atas.
Faktor Transisi Pasca-Klopp dan Beban Mental
Konteks musim 2025 tidak bisa dilepaskan dari era baru pasca-Klopp. Arne Slot, meski membawa filosofi menyerang, bergulat dengan warisan ekspektasi besar dan mungkin, pola bermain yang belum sepenuhnya meresap. Cedera pada pemain kunci di sektor pertahanan semakin memperparah ketidakstabilan. Beban mental sebagai juara bertahan yang diharapkan langsung berjaya lagi juga terasa. Mereka menjadi juara bertahan pertama sejak Leicester 2016 yang kalah enam kali dalam 12 laga awal. Ini adalah krisis kepercayaan diri modern, diperparah oleh sorotan media dan media sosial yang tak kenal ampun.
Perbandingan Langsung: Pola, Konteks, dan Dampak
Meski terpisah waktu, benang merah antara 1954 dan 2025 dapat ditarik. Keduanya ditandai dengan run kekalahan beruntun yang panjang dan pertahanan yang bocor. Pada 1954, kebobolan 97 gol (rata-rata 2.31 per laga). Pada 2025, kebobolan 20 gol di liga (rata-rata 1.54 per laga) ditambah 10 di Eropa, menunjukkan kerapuhan yang konsisten meski skala belum sedahsyat dulu.
Namun, perbedaan utama terletak pada kualitas skuad dan fondasi klub. Tim 1954 memang tim level mid-table yang akhirnya terjun. Skuad 2025 adalah kumpulan juara dunia dan Eropa, dengan nilai pasar ratusan juta pound. Ini adalah kemerosotan tim elit, bukan kehancuran tim biasa. Ofensif 2025, dengan data kepemilikan bola dan tembakan yang tinggi, masih menunjukkan ancaman, berbeda dengan tim 1954 yang lebih bergantung pada individu.
Dampaknya pun berbeda. Degradasi 1954 adalah pukulan mematikan yang membutuhkan waktu tahunan untuk pulih. Krisis 2025 (sejauh ini) adalah badai yang menguji ketahanan struktur klub modern yang sudah mapan. Spekulasi tentang masa depan Arne Slot memang beredar, tetapi Liverpool masa kini memiliki sumber daya finansial dan kelembagaan yang tak terbayangkan 70 tahun lalu.
Proyeksi dan Pelajaran dari Lorong Waktu
Musim 2025-26 masih panjang. Ada waktu untuk memperbaiki diri, dan data xG yang positif bisa menjadi alasan untuk optimisme jika konversi dan pertahanan diperbaiki. Namun, sejarah mengingatkan: pola awal yang buruk bisa menjadi nubuat yang terpenuhi dengan sendiri jika tidak ditangani dengan benar.
Langkah Arne Slot ke depan harus konkret: memperkuat disiplin pertahanan, menemukan konsistensi starting XI di tengah cedera, dan mengembalikan mental pemenang pada skuad. Warisan Klopp adalah standar tinggi; Slot tidak boleh terjebak membandingkan, tetapi harus membangun identitas barunya sendiri dengan cepat.
Kisah 1954 mengajarkan bahwa dari titik terendah, kebangkitan terhebat bisa dimulai. Degradasi itu pahit, tetapi memurnikan. Krisis 2025 adalah ujian pertama dalam babak baru Liverpool. Apakah ini hanya sebuah kemerosotan sementara dalam transisi, atau awal dari masalah lebih dalam yang mengintai? Jawabannya akan menentukan apakah angka 2025 akan sekadar menjadi catatan kaki dalam sejarah kesuksesan, atau pengingat kelam bahwa bahkan raksasa pun bisa tersandung.
Ikuti analisis mendalam dan update terkini seputar Liverpool dan dunia sepakbola hanya di Score.co.id.












