Sejarah permusuhan Arema dan Persebaya, fakta kelamnya

Sejarah Kelam Rivalitas Arema vs Persebaya: Fakta Lengkap

Sejarah permusuhan Arema dan Persebaya
Sejarah permusuhan Arema dan Persebaya

Sejarah permusuhan Arema dan Persebaya

score.co.id – Derby Jawa Timur antara Arema FC dan Persebaya Surabaya bukan sekadar pertandingan sepak bola. Ini adalah benturan kebanggaan daerah yang menyimpan luka historis puluhan tahun. Mengapa pertemuan dua tim ini selalu diwarnai ketegangan mencekam? Bagaimana persaingan olahraga berubah menjadi salah satu rivalitas paling mematikan di dunia? Liputan eksklusif score.co.id mengungkap lapisan-lapisan kelam yang menjadikan perseteruan ini sebuah tragedi berulang, puncaknya pada malapetaka Kanjuruhan 2022 yang mengubah wajah sepak bola Indonesia selamanya.

Akar Perseteruan: Akumulasi Dendam Sejak Era Galatama

Perselisihan Arema dan Persebaya tumbuh dari tanah subur perbedaan identitas. Surabaya, kota metropolitan yang memancarkan aura kekuasaan, berhadapan dengan Malang, pusat budaya yang kental dengan semangat independensi. Konflik diawali bukan di lapangan hijau, melainkan di luar pagar stadion.

Sejarah Kelam Rivalitas Arema vs Persebaya Fakta Lengkap
Sejarah Kelam Rivalitas Arema vs Persebaya Fakta Lengkap

Tahun 1990 menjadi titik api pertama. Saat konser Kantata Takwa digelar di Tambaksari, Surabaya, ribuan pendukung dari kedua kubu bertemu. Adu argumen berubah menjadi bentrokan fisik massal pertama antara Bonek (suporter Persebaya) dan Aremania. Identitas kelompok mulai diklaim, permusuhan direkam dalam memori kolektif.

Tiga tahun kemudian, semifinal Galatama 1992 menambah bensin. Arema Malang menghadapi Semen Padang di Surabaya – pilihan netral yang ternyata memantik masalah. Usai laga, sekelompok Aremania terlibat kerusuhan di Stasiun Gubeng. Bonek menganggap ini penghinaan di tanah mereka. Narasi “penjajahan wilayah” mulai mengkristal.

Baca Juga  Juara piala aff u23 dari tahun ke tahun, Daftar Lengkap

Tapi insiden paling traumatis terjadi pada 26 Desember 1995. Usai laga Persema Malang vs Persebaya, bus tim Persebaya dihujani batu oleh pendukung Malang. Salah satu batu menghantam mata pemain M. Nurkiman, menyebabkan kebutaan permanen pada mata kirinya. Tragedi ini menjadi martir kebencian yang diwariskan turun-temurun. Bagi Bonek, Nurkiman simbol ketidakadilan. Bagi Aremania, kisah ini sering dibingkai berbeda sebagai kebetulan tragis. Perbedaan persepsi ini memperdalam jurang permusuhan.

Titik Nadir: Analisis Komprehensif Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022

Malam 1 Oktober 2022 mengubah segalanya. Kekalahan Arema 2-3 dari Persebaya di Kandang Kanjuruhan – kekalahan pertama di rumah dalam 23 tahun – memicu kekecewaan mendalam. Beberapa ratus suporter turun ke lapangan. Apa yang terjadi selanjutnya adalah rantai kegagalan sistemik yang berujung pada 135 nyawa melayang dan 583 luka-luka.

Laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dan Komnas HAM menyimpulkan satu penyebab utama: penggunaan gas air mata secara membabi buta oleh aparat. Senjata kimia itu ditembakkan ke tribun penuh penonton – pelanggaran fatal terhadap aturan keselamatan FIFA. Kepanikan massal tak terelakkan. Penonton berlarian ke pintu keluar, hanya menemukan banyak pintu terkunci, terlalu sempit, atau tersumbat. Korban tewas terutama karena terinjak-injak dan sesak napas.

Fakta krusial yang sering salah dikisahkan: Tragedi ini bukan bentrok suporter. Bonek bahkan tidak diizinkan hadir. Ini murni kegagalan institusi:

  • PSSI & PT LIB: Mengabaikan prosedur verifikasi stadion, menetapkan kick-off malam hari demi kepentingan siaran televisi, dan gagal mengakui status “high-risk match”.
  • Aparat Keamanan: Menggunakan 74 canister gas air mata di area tertutup – tindakan tanpa dasar prosedur kepolisian yang sah.
  • Panitia Pelaksana: Menjual 42.000 tiket untuk stadion berkapasitas resmi 38.000, plus mengizinkan ribuan tiket ilegal.
Baca Juga  Over Pede, Pelatih Bali United Tertarik Boyong Justin Hubner

Tragedi Kanjuruhan adalah puncak gunung es dari budaya lalai dalam sepak bola Indonesia. Rivalitas Arema-Persebaya hanya konteks; akar masalahnya adalah sistem yang mengorbankan keselamatan penonton demi keuntungan dan ego politik.

Tabel Ringkasan Temuan Investigasi Tragedi Kanjuruhan

Aspek Investigasi TGIPF Komnas HAM
Penyebab Utama Kematian Gas air mata memicu kepanikan & desak-desakan Penembakan gas air mata ke tribun sebagai pelanggaran HAM
Tanggung Jawab Institusi PSSI, PT LIB, Panpel, & Aparat gagal berlapis Pelanggaran sistematis oleh penyelenggara & keamanan
Pelanggaran Prosedur Jadwal malam tidak aman, tiket over kapasitas Pintu darurat terkunci, struktur tribun tidak memadai
Rekomendasi Kunci Mundurnya Ketum PSSI & KLB Reformasi Proses hukum pidana & kompensasi korban

Konteks Terkini (2025): Rivalitas di Bawah Bayang-Bayang Tragedi

Pasca-Kanjuruhan, derby Jawa Timur berubah wajah. Pertemuan terakhir 28 April 2025 digelar di Stadion I Wayan Dipta, Bali – lokasi netral tanpa penonton sama sekali. Skor 1-1 tak mengubah fakta: Arema belum menang atas Persebaya sejak 2019. Frustrasi menumpuk di Malang, sementara Surabaya tetap waspada.

Meski tak ada insiden kekerasan, tensi bawah tanah tetap hidup. Patroli gabungan TNI-Polri diperketat di perbatasan Jawa Timur tengah-timur. Media sosial masih menjadi ajang saling hina antar kelompok fanatik. Seorang aktivis HAM di Surabaya, dalam percakapan dengan score.co.id, menyatakan: “Rekonsiliasi hanya kulit luar. Dendam sejarah hanya tertidur, belum mati.”

Upaya simbolis dilakukan – doa bersama, poster perdamaian. Tapi keluarga korban Kanjuruhan menolak gimmick. Mereka menuntut keadilan hukum yang masih tersendat. Hingga 2025, hanya 6 petugas kepolisian yang dihukum ringan. Sementara petinggi PSSI dan panpel lolos dari jerat pidana.

Kesimpulan dan Refleksi: Rekonsiliasi Rapuh dan Akuntabilitas yang Tertunda

Perseteruan Arema-Persebaya adalah cermin retak masyarakat Indonesia: dendam turunan, kegagalan negara melindungi warga, dan impunitas elite. Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi titik balik. Kenyataannya, reformasi PSSI berjalan lamban. Rekomendasi TGIPF tentang pergantian kepemimpinan dan audit sistemik sebagian besar hanya jadi arsip.

Baca Juga  2 Pemain Timnas ke Persib 2026, Manajemen: Kami Sudah Komunikasi

Rivalitas ini tidak akan hilang. Tapi bisa diredefinisi. Syaratnya:

  1. Akuntabilitas total bagi pelaku kelalaian di Kanjuruhan.
  2. Standar keselamatan FIFA wajib di semua stadion Liga Indonesia.
  3. Pendidikan anti-kekerasan terstruktur bagi generasi baru suporter.
  4. Dialog kemanusiaan melibatkan korban dari kedua kota.

Tanpa itu, bayang-bayang 1 Oktober 2022 akan terus menghantui setiap duel Arema vs Persebaya. Sepak bola Indonesia harus memilih: melanjutkan siklus kelam atau berani membongkar sistem busuk yang membunuh bangsanya sendiri.

Pantau terus perkembangan terkini rivalitas Arema-Persebaya dan analisis mendalam sepak bola Indonesia hanya di score.co.id – sumber berita olahraga tepercaya