Reaksi Pelatih MU Usai Ditahan Imbang West Ham
score.co.id – Statistiknya membisu, namun fakta di papan skor berbicara lantang: 15. Itulah jumlah gol yang kebobolan Manchester United dari situasi tendangan sudut sejak awal musim lalu, sebuah angka yang hanya “dikalahkan” oleh West Ham United (17). Ironi itu memuncak di Old Trafford pada 4 Desember 2025, ketika justru West Ham yang memanfaatkan kelemahan kronis tersebut untuk menyodorkan kenyataan pahit: dominasi bola 64,9% dan 17 tembakan tak ada artinya tanpa ketajaman di area akhir dan ketangguhan mental di menit-menit penentu. Gol Soungoutou Magassa pada menit ke-83 bukan sekadar penyama kedudukan menjadi 1-1; ia adalah potret buram inkonsistensi, kesalahan taktis berulang, dan sebuah era baru di bawah Ruben Amorim yang masih berjuang menemukan identitas sejati.

Ungkapan “kecewa” yang sering dikaitkan dengan Erik ten Hag, sang arsitek trofi beberapa musim silam, kini berganti menjadi kemarahan murni dari sang penerus. Artikel ini akan mengupas lapisan-lapisan di balik hasil imbang yang terasa seperti kekalahan itu, menganalisis akar masalah taktis, dan menimbang tekanan yang kini menghantui kursi kepelatihan di teater mimpi yang sedang redup.
Dominasi Statistik yang Menipu dan Momok Bola Mati
Melihat lembaran data murni, seseorang akan menyimpulkan Manchester United pantas meraih kemenangan telak. Selain penguasaan bola yang hampir mencapai 65%, tim besutan Amorim melepaskan 17 tembakan dengan Expected Goals (xG) sebesar 1.8, lebih dari dua kali lipat angka West Ham yang hanya 0.79. Aksi di lapangan di babak pertama seolah mengonfirmasi narasi ini. MU menguasai alur permainan, menciptakan sejumlah peluang emas sekitar menit ke-30, termasuk tembakan yang menghajar tiang gawang dan penyelamatan heroik kiper lawan. Tekanan itu akhirnya berbuah di menit ke-58 melalui Diogo Dalot yang menyelesaikan sebuah umpan matang di dalam kotak penalti. Saat itu, kemenangan seakan sudah dalam genggaman.
Namun, sepak bola modern kerap diwarnai oleh paradoks. Dominasi penguasaan bola tanpa intensitas pressing yang tinggi dan transisi cepat justru bisa menjadi bumerang. MU terjerat dalam pola permainan yang terkesan datar setelah unggul. Alih-alih meningkatkan temperatur permainan untuk mencari gol kedua yang akan mengamankan hasil, mereka justru masuk ke dalam mode kontrol pasif. Bola banyak dialirkan di area tengah dan pertahanan, tanpa disertai gerakan penetrating run atau umpan-umpan vertikal yang membahayakan. Hal ini memberi waktu bagi West Ham, yang diasuh Nuno Espirito Santo, untuk mengatur ulang formasi pertahanan dan tetap berada dalam pertandingan.
Kelemahan yang paling mencolok, dan akhirnya menjadi penentu, adalah pertahanan dari bola mati. Statistik 15 gol kebobolan dari corner bukanlah angka sembarangan; ia adalah diagnosis atas masalah struktural. Saat tendangan sudut West Ham melayang ke kotak penalti di menit ke-83, terlihat kebingungan dalam penjagaan.
Soungoutou Magassa, yang mencetak gol perdana untuk klubnya, mendapat ruang untuk melompat dan menyundul bola dengan leluasa. Ini adalah kegagalan kolektif: baik dalam penjagaan zonasi, man-marking, maupun keengganan untuk secara agresif menghalau bola pertama. Amorim sendiri, dalam konferensi persnya, dengan gamblang menyoroti titik lemah ini.
“Itu tidak konstan. Kami punya momen bagus dan kami kehilangan sedikit kontrol permainan. Kami seharusnya menutup pertandingan setelah mencetak gol. Permainan sudah terkendali, kami tahu itu, mari bertahan jauh dari kotak penalti dan setiap set pieces bisa menjadi masalah dengan perbedaan tinggi badan di tim. Sekali lagi, kami kehilangan dua poin.”
Kutipan tersebut bukan sekadar luapan kekecewaan, tetapi pengakuan jujur atas kelemahan taktis yang terprediksi. Permintaan untuk “bertahan jauh dari kotak penalti” mengindikasikan kesadaran akan inferioritas fisik, namun hal itu tidak diimplementasikan di lapangan. Gol ini juga mematahkan statistik mengerikan West Ham: sebelumnya, mereka selalu kalah dalam 21 pertandingan tandang melawan MU setelah kebobolan lebih dulu.
Analisis Mendalam: Di Mana Letak Masalah Taktik Ruben Amorim?
Transisi dari era Erik ten Hag ke Ruben Amorim diharapkan membawa angin segar, khususnya dalam hal pola permainan yang lebih terstruktur dan progresif. Amorim dikenal dengan filosofi permainan ofensif dan pressing tinggi selama membesut Sporting CP. Namun, mengadopsi filosofi tersebut di Old Trafford, dengan material pemain yang ada, ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Hasil imbang kontra West Ham menjadi studi kasus sempurna untuk mengukur sejauh mana adaptasi itu berjalan.
Pertama, masalah efisiensi di lini serang. MU menciptakan 17 peluang tetapi hanya 4 yang mengarah ke gawang. Angka ini mencerminkan ketidakmatangan dalam pengambilan keputusan di area final third. Banyak tembakan dilakukan dari jarak jauh atau dalam situasi terburu-buru. Amorim menyebutkan soal “umpan silang yang tidak bagus” dan “karakteristik pemain di kotak penalti yang terkadang tidak cukup baik”. Ini adalah kritik halus terhadap kualitas finishing dan keputusan akhir pemain seperti Matheus Cunha atau pemain sayap lainnya. Dominasi bola tidak diimbali dengan kreativitas dan ketajaman yang memadai.
Kedua, kekosongan taktis setelah mencetak gol. Alih-alih mempertahankan intensitas, MU justru tampak kehilangan ide. Mereka beralih ke permainan aman, menjaga bola tanpa tujuan jelas, yang justru mengundang tekanan. Dalam sistem Amorim yang ideal, kontrol bola harus digunakan untuk membuka ruang dan menciptakan peluang baru, bukan sekadar mempertahankan skor. Kemampuan untuk “mengelola pertandingan” atau “game management” ini yang masih sangat kurang. Tim gagal menaikkan atau menurunkan tempo permainan sesuai kebutuhan situasi.
Ketiga, kerapuhan dalam transisi bertahan. Saat kehilangan bola, ada momen-momen di mana lini tengah MU terlalu renggang, memberikan celah bagi West Ham untuk melakukan serangan balik cepat. Meski tidak selalu berbuah gol, situasi seperti ini mengganggu ritme dan memberikan kesempatan bagi lawan untuk mendapatkan bola mati di area berbahaya – yang pada akhirnya berujung pada gol penyeimbang. Formasi yang digunakan Amorim, yang sering bervariasi antara 3-4-3 dan 4-3-3, tampaknya masih belum solid secara defensif, terutama dalam menutup ruang di antara garis.
Tekanan Membesar dan Bayang-Bayang Masa Lalu
Hasil ini menempatkan Manchester United dalam posisi yang tidak nyaman dalam perburuan tiket kompetisi Eropa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah pola inkonsistensi yang terus berulang. Tim mampu tampil gemilang satu minggu, lalu terjatuh di minggu berikutnya. Bagi Amorim, ini adalah tantangan terbesar. Ia tidak hanya dituntut untuk menerapkan taktik, tetapi juga membangun mentalitas pemenang dan ketahanan mental yang kokoh – sesuatu yang menjadi trademark MU di masa kejayaannya.
Reaksi keras Amorim pasca-pertandingan, dengan ekspresi marah dan frustrasi yang tak tersembunyi, menunjukkan level tekanan yang ia rasakan. Ia menyadari bahwa “kehilangan dua poin” di kandang sendiri kepada tim peringkat tengah seperti West Ham adalah kemewahan yang tidak bisa ditoleransi oleh klub sebesar Manchester United. Ia datang dengan reputasi sebagai salah satu pelatih muda paling menjanjikan di Eropa, dan sekarang ia harus membuktikannya di panggung yang jauh lebih besar dan lebih kejam.
Di sisi lain, prestasi Nuno Espirito Santo dengan West Ham patut diacungi jempol. Sejak ditangani di akhir September 2025, The Hammers telah menunjukkan mentalitas pantang menyerah yang luar biasa. Mereka telah meraih delapan poin dari posisi tertinggal, suatu statistik yang hanya kalah dari Aston Villa. Gol di menit akhir melawan MU adalah puncak dari mentalitas itu. Santo berhasil menciptakan tim yang tangguh, solid secara defensif, dan sangat efisien dalam memanfaatkan sedikit peluang yang didapat – kebalikan dari apa yang diperagakan MU pada laga tersebut.
Proyeksi dan Jalan Panjang di Depan
Laga kontra West Ham adalah cermin yang memantulkan dengan jelas pekerjaan rumah Ruben Amorim. Ia bukan hanya harus menemukan formula terbaik untuk mengaktifkan lini serang, tetapi juga harus memperkuat pondasi pertahanan, khususnya dari situasi bola mati. Rotasi pemain dan kemungkinan eksplorasi formasi lain akan menjadi ujian berikutnya, terutama dengan jadwal padat yang menanti.
Era Erik ten Hag, yang diwarnai dengan gelar Piala Liga dan Piala FA meski berakhir dengan pemecatan, kini tinggal kenangan. Ia mewariskan skuad dengan kualitas individu yang baik namun belum menjadi sebuah tim yang utuh. Tugas Amorim adalah menyatukannya. Hasil imbang yang terasa seperti kekalahan ini harus menjadi katalis perubahan. Setiap poin yang terbuang adalah pelajaran yang mahal harganya dalam persaingan sengit Liga Premier.
Bagi para penggemar setia, masa transisi ini memerlukan kesabaran. Namun, kesabaran itu bukan berarti pembiaran terhadap kesalahan yang terus berulang. Konsistensi dan ketajaman adalah dua kata kunci yang harus segera direalisasikan Amorim jika ia tidak ingin sorotan dan kritik semakin membesar. Pertandingan berikutnya melawan Wolverhampton Wanderers akan menjadi uji tuntas langsung atas respons tim terhadap kekecewaan ini.
Dapatkan analisis taktis mendalam, berita terpercaya, dan liputan eksklusif setiap laga Manchester United hanya di Score.co.id. Ikuti terus perkembangan untuk wawasan sepakbola yang tidak sekadar berita, tetapi solusi dan analisis.












