Pertamina siap jadi pemain utama penyimpanan karbon di Indonesia

Pertamina siap jadi pemain utama penyimpanan karbon di Indonesia

Score – PT Pertamina (Persero) menyatakan kesiapannya jadi pemain utama penyimpanan karbon di Indonesia melalui program carbon capture utilisation storage/carbon capture utilisation storage (CCS/CCUS).

Hal itu disampaikan Senior Vice President Research and Technology Innovation Pertamina Oki Muraza di sela diskusi bertajuk Harnessing Potential of Indonesia CCS Development for Carbon Removal Implementation Towards a Cleaner Future di Paviliun Indonesia pada Conference of the Parties (COP) 28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Sabtu (2/12).

Oki dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin menyebut sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan Pertamina. Ia mengatakan ada 400 gigaton (GT) potensi CCS serta kapasitas bisnis CCS/CCUS yang mencapai 60 juta ton per tahun (MTPA) di Indonesia.

Demi menangkap peluang tersebut, Pertamina saat ini telah memiliki delapan lokasi CCS/CCUS yang pengembangannya dikolaborasi bersama mitra strategis lainnya.

Terdapat dua lokasi di Sumatera, empat lokasi di Jawa, dan dua di Sulawesi. Pertamina melaporkan saat ini inisiatif CCS/CCUS tengah berada pada fase studi kelaikan yang meliputi teknis bawah permukaan, fasilitas permukaan, dan ekonomi.

“Sebagai BUMN sektor minyak dan gas yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia, namun di saat bersamaan menjalankan program dekarbonisasi. Pertamina melihat CCUS sebagai upaya meningkatkan jumlah minyak dan gas kita sekaligus mendukung target NZE (net zero emission),” ucap Oki.

Pertamina kini mengembangkan proyek CCUS di Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang memiliki potensi penyimpanan karbon 146 ribu ton. Pertamina juga sedang mengembangkan proyek CCS sebagai platform yang mendukung produksi amonia dan hidrogen rendah karbon.

Karbon dioksida (CO2) dari pembangkit amonia dan kilang nantinya akan dihapus dari pembangkit hidrogen dengan teknologi konsentrasi tinggi, dan unit pembakaran, dengan konsentrasi rendah. Selanjutnya, CO2 akan dikompres dan diangkut ke area di sekitar pembangkit lalu terjadi injeksi CO2 atau proses CCS.

Baca Juga  Tidak Ingin Hanya Jadi Pelengkap, Irfan Bachdim Akan Bawa Persik Kediri ke Papan Atas

Setelah itu, nantinya akan terbentuk senyawa hidrogen dan amonia sebagai bahan baku rendah karbon. Proses tersebut telah dilakukan di Kutai Basin, Kalimantan Timur.

Oki menyebutkan rata-rata CO2 dari pembangkit hidrogen di Balikpapan sebesar 1,4 juta ton per tahun. Sedangkan,.kapasitas penyimpanannya sebesar 270 juta ton.

Sementara itu, produksi amonia dilakukan di Pembangkit Amonia Banggai. CO2 dari pembangkit amonia mencapai 1 juta ton per tahun. Sementara kapasitas penyimpanannya mencapai 273 juta ton.

“Jika semua berjalan lancar, 2030 selesai, dan penyimpanan dapat digunakan,” kata Oki.

Ia menyatakan Pertamina juga telah mendorong pemanfaatan CCS dan CCUS sejak pertemuan Glasgow, Skotlandia dua tahun lalu. Sejak saat itu, Pertamina secara konsisten mempertimbangkan agar teknologi ini dapat diterapkan.

“Kami terus mengembangkan tahap per tahap, sambil menunggu kepastian kebijakan dari pemerintah,” ujar Oki.

Pertamina mengungkapkan ada banyak kesepakatan untuk membentuk kebijakan tersebut, termasuk perhitungan CCS/CCUS ke dalam nationally determined contributions (NDC), kolaborasi antar lembaga, dan dialog lainnya.

Kemudian, Pertamina juga menggarisbawahi aspek yang perlu diperhatikan dari pengembangan CCS/CCUS, yakni belanja modal. Persoalan itu dapat diatasi dengan mengembangkan nature-based solution (NBS), karena biayanya paling murah. Solusi lainnya ialah penangkapan metana.

Oki menekankan semua ini akan terwujud jika seluruh pihak saling bersinergi.

“CCS/CCUS adalah bisnis yang bisa kita pelajari dan bangun ilmu bersama,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center Belladonna Maulianda yang juga hadir pada sesi tersebut mengatakan CCS adalah inovasi paling memungkinkan untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong target karbon netral. CCS memiliki berbagai manfaat seperti mengurangi biaya, mencegah risiko dagang, membuka lapangan kerja, dan mendorong pengembangan industri rendah karbon.