Gaji Pemain Futsal vs Sepak Bola di Indonesia
score.co.id – Di lapangan hijau, baik yang berukuran besar maupun lebih kecil untuk futsal, semangat para pemain Indonesia berkobar sama. Namun, ketika laga usai dan bicara soal kompensasi, realita yang terungkap adalah sebuah kesenjangan finansial yang sangat lebar. Tahun 2025 ini, perbandingan gaji pemain sepak bola di Liga 1 dengan rekan-rekan mereka di Pro Futsal League (PFL) bukan lagi sekadar perbedaan, melainkan sebuah gambaran nyata tentang bagaimana popularitas, skala bisnis, dan dukungan institusi membentuk nasib atlet.
Artikel ini akan mengupas tuntas struktur gaji, akar penyebab jurang tersebut, serta tantangan yang dihadapi oleh para pelaku di kedua dunia olahraga paling populer di tanah air.
Perbandingan Langsung: Realita Angka di Lapangan Hijau
Memahami kesenjangan gaji ini perlu dimulai dari melihat angka-angka estimasi yang beredar, dengan catatan bahwa data resmi seringkali tertutup rapat oleh klub. Dalam konteks sepak bola Liga 1, pemain lokal dengan posisi mapan diperkirakan memiliki gaji bulanan rata-rata antara Rp130 hingga Rp150 juta. Sementara itu, pemain asing, yang kerap menjadi bintang andalan, bisa meraup hingga Rp250-300 juta per bulan. Angka tahunan untuk pemain top seperti Thijmen Goppel (Bali United) atau Jordi Amat (Persija Jakarta) bahkan dikabarkan menyentuh kisaran Rp11-12 miliar per musim.
Beralih ke dunia futsal, skalanya berubah drastis. Pemain terbaik di Pro Futsal League (PFL) saat ini berada di kisaran Rp25-30 juta per bulan. Sementara itu, banyak pemain, terutama di level bawah atau klub dengan pendanaan terbatas, harus berjuang dengan gaji yang bisa serendah Rp2.5-5 juta per bulan, sebuah angka yang di beberapa daerah bahkan berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Artinya, gaji tertinggi di futsal hampir setara dengan gaji terendah untuk pemain muda atau pemain lokal level bawah di sepak bola Liga 1.
Perbedaan ini semakin kontras ketika melihat nilai pasar (valuasi) pemain. Di sepak bola, mekanisme pasar dan eksposur media menciptakan valuasi yang fantastis, seperti Rizky Ridho yang disebut bernilai Rp9,56 miliar. Sementara di futsal, meski timnas putri berhasil menembus 5 besar Asia, nilai komersial pemain di liga domestik masih sangat terbatas. Ini bukan sekadar soal angka, tetapi cerminan dari daya tarik komersial yang berbeda jauh.

Perbandingan Gaji Rata-rata
| Aspek | Sepak Bola (Liga 1) | Futsal (PFL) |
|---|---|---|
| Gaji Bulanan Rata-rata Pemain Lokal | Rp130-150 juta | Rp25-30 juta (pemain terbaik) |
| Gaji Bulanan Pemain Asing/Top | Rp250-300 juta (bulanan), hingga Rp11-12 miliar (tahunan) | Rp2.5-5 juta (level bawah) |
Mengapa Jurang Ini Tercipta? Analisis Faktor Penggerak
Kesenjangan senilai ratusan juta hingga miliaran rupiah ini bukanlah suatu kebetulan. Ia adalah hasil dari perpaduan kompleks faktor ekonomi, sosial, dan tata kelola olahraga.
- Popularitas dan Skala Industri: Sepak bola adalah raksasa. Liga 1 disiarkan di televisi nasional, menarik sponsor utama seperti BRI, dan mengisi stadion-stadion besar. Hak siar dan dukungan korporasi ini menciptakan aliran pendapatan yang signifikan bagi klub, yang sebagian dialokasikan untuk gaji pemain. Sebaliknya, Futsal Pro League, meskipun terus berkembang, masih bersaing untuk mendapatkan perhatian pemirsa massa dan sponsor berskala serupa. Basis penggemarnya loyal tapi niche, yang berdampak langsung pada daya tarik komersial dan anggaran klub.
- Dukungan dan Regulasi Federasi: Peran federasi sangat krusial. Di sepak bola, PSSI memiliki struktur pendanaan yang lebih besar, terlihat dari anggaran pelatnas timnas yang mencapai Rp199,7 miliar pada 2025. Di sisi futsal, Federasi Futsal Indonesia (FFI) baru pada Agustus 2025 secara resmi mengeluarkan surat berisi standar gaji minimum untuk pelatih, staf, dan pemain di PFL musim 2025/2026. Langkah progresif ini patut diacungi jempol sebagai upaya perlindungan, namun implementasinya di lapangan masih menjadi tantangan tersendiri.
- Tantangan Finansial Klub yang Sama-sama Nyata: Di balik angka gaji fantastis, masalah klasik menghantui kedua olahraga: ketidakstabilan keuangan klub. Dalam sepak bola, pengamat seperti Bung Kus menyoroti bahwa banyak klub profesional masih merugi dengan kerugian operasional puluhan miliar per tahun. Mengelola klub Liga 1 membutuhkan anggaran di atas Rp50 miliar per tahun, sementara pemasukan kerap tidak sebanding. Masalah ini memicu tunggakan gaji, seperti yang diungkap PT LIB terjadi di beberapa klub dengan total mencapai Rp4,3 miliar pada Agustus 2025. Penyebabnya beragam, mulai dari mundurnya sponsor hingga pendapatan tiket yang tidak memadai.
Dunia futsal tidak kebal. Kasus penunggakan gaji, seperti yang dialami Kasuarina Giga FC dimana pemain tidak dibayar hingga enam bulan, menunjukkan kerapuhan yang sama di level yang berbeda. Ferry Paulus dari PT LIB menjelaskan bahwa solusi yang sedang digodok adalah membuat klub hidup sesuai kemampuannya, dengan pengeluaran disesuaikan dengan pendapatan riil.

Tantangan 2025 dan Proyeksi Masa Depan
Tahun 2025 menjadi titik perhatian serius terhadap kesejahteraan pemain di kedua cabang. Regulasi baru menjadi kata kunci.
- Sepak Bola: Di samping aturan financial control atau salary cap yang membatasi pengeluaran klub maksimal Rp50 miliar per musim, datang angin segar dari program global. Klub-klub Super League yang melepas pemainnya untuk membela Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 akan menerima kompensasi finansial dari FIFA. Program ini adalah bagian dari perluasan FIFA Club Benefits Programme (CBP) yang mendistribusikan dana ratusan juta dolar secara global. Ini bukan hanya suntikan dana, tetapi pengakuan bahwa klub berperan vital dalam kesuksesan tim nasional.
- Futsal: Langkah FFI menetapkan standar gaji minimum adalah terobosan penting. Regulasi ini bertujuan melindungi pemain dari praktik penunggakan dan menciptakan lingkungan kompetisi yang lebih profesional. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada pengawasan dan kemampuan finansial klub-klub peserta PFL. Peningkatan bertahap gaji sejak 2022, yang disebut-sebut didorong oleh masuknya sponsor seperti Hary Tanoe, menunjukkan potensi pertumbuhan.
Lanskap Olahraga Indonesia: Dua Jalur, Satu Tujuan Kesejahteraan
Perjalanan finansial sepak bola dan futsal Indonesia berjalan di dua jalur yang sangat berbeda. Sepak bola, dengan segala glamor dan kompleksitasnya, menawarkan prospek ekonomi yang jauh lebih gemilang namun sekaligus dihantui beban operasional yang berat dan ketergantungan pada pemilik klub yang kuat. Futsal, di sisi lain, berjuang dari bawah untuk meningkatkan nilai komersialnya, dengan prestasi timnas seringkali tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan pemain di level klub.
Namun, keduanya kini mulai berbelok menuju titik yang sama: penataan sistem. Baik melalui regulasi financial control dan insentif FIFA di sepak bola, maupun standar minimum di futsal, upaya untuk menciptakan keberlanjutan dan melindungi atlet semakin mengemuka. Jurang gaji mungkin tetap lebar dalam beberapa tahun ke depan, karena perubahan popularitas budaya bukanlah hal instan. Namun, komitmen untuk membangun fondasi keuangan yang lebih sehat dan transparan adalah langkah pertama yang krusial bagi masa depan kedua olahraga ini. Pada akhirnya, semangat para pemain di lapangan layak diimbangi dengan kepastian dan kesejahteraan yang adil di luar lapangan.
Ikuti terus analisis mendalam dan berita terbaru seputar dunia sepak bola dan futsal Indonesia hanya di score.co.id.












