Komparasi Gaji Pemain Serie A vs Premier League: Mana Paling Boros?

Perbandingan standar upah Liga Inggris vs Italia.

Komparasi Gaji Pemain Serie A vs Premier League Mana Paling Boros
Komparasi Gaji Pemain Serie A vs Premier League Mana Paling Boros

Gaji Pemain Serie A vs Premier League

score.co.id – Bayangkan dua pasar transfer yang bergerak dengan logika finansial yang bertolak belakang. Di satu sisi, sebuah liga di mana kontrak senilai setengah juta pound per minggu sudah menjadi headline biasa. Di sisi lain, sebuah liga yang legendaris, tempat di mana kesederhanaan anggaran justru melahirkan kejeniusan taktis. Premier League Inggris dan Serie A Italia tidak hanya bertarung di lapangan hijau, tetapi juga dalam laporan keuangan yang mencerminkan filosofi bisnis yang sama sekali berbeda. Manakah yang lebih boros dalam membelanjakan uang untuk gaji pemain? Jawabannya bukan sekadar hitungan matematis, tetapi sebuah cerita tentang dominasi pasar, regulasi ketat, dan masa depan sepakbola Eropa.

Analisis mendalam terhadap data gaji musim 2025/26 mengungkap jurang yang dalam. Premier League tidak hanya unggul, tetapi menciptakan ekonominya sendiri yang terpisah jauh dari kompetisi Eropa lainnya. Serie A, dengan segala warisan kejayaannya, berjalan di jalur yang lebih konservatif. Artikel ini akan membedah angka-angka terbaru, dari total wage bill liga, rata-rata gaji per pemain, hingga kontrak megah bintang-bintang teratas. Lebih dari itu, kita akan menggali akar penyebab perbedaan ini dan menimbang: apakah keborosan Premier League adalah tanda kekuatan, atau justru bom waktu? Dan apakah kehematan Serie A adalah kelemahan, atau strategi keberlanjutan yang cerdas?

Perbandingan standar upah Liga Inggris vs Italia.
Perbandingan standar upah Liga Inggris vs Italia.

Total Pengeluaran Gaji Liga: Sebuah Jurang yang Terus Melebar

Membandingkan total pengeluaran gaji atau wage bill antara Premier League dan Serie A ibarat membandingkan kapal pesiar dengan kapal penjelajah. Keduanya hebat, tetapi skalanya berbeda secara radikal. Data dari berbagai lembaga keuangan terpercaya untuk musim 2025/26 menyajikan gambaran yang konsisten: dominasi finansial Inggris hampir tak terbantahkan.

Premier League: Raksasa Finansial yang Tak Terkekang

Mari kita mulai dengan angka yang hampir tak terpahami. Laporan Deloitte Annual Review of Football Finance edisi Juni 2025, yang menjadi standar emas analisis industri, memberikan konteks historis yang kuat. Meski merujuk pada musim 2023/24, tren yang ditetapkan tetap relevan dan bahkan semakin menguat. Deloitte mencatat total biaya gaji (termasuk pemain dan staf) di Premier League mencapai £4 miliar, setara dengan sekitar €4,7 miliar.

Namun, estimasi untuk musim berjalan 2025/26 jauh lebih mencengangkan. Sportingpedia dalam laporan Oktober 2025 menyebut bahwa wage bill hanya untuk tim utama (first team) klub-klub Premier League telah menyentuh €2,41 miliar. Angka ini saja sudah 65% lebih tinggi daripada La Liga Spanyol. Bayangkan ketika angka ini dikalikan untuk mencakup seluruh skuad dan staf pendukung di 20 klub. Ekstrapolasi yang dilakukan banyak pakar keuangan sepakbola membawa total pengeluaran gaji Premier League ke kisaran fantastis €4 hingga €5 miliar.

Baca Juga  Shin Tae-yong Aktifkan Mode Serius di Piala Asia U-23 2024, Pemain Timnas U-23 Indonesia Saksinya

Lebih mengejutkan lagi, analisis Transfermarkt yang merujuk data UEFA menunjukkan bahwa sembilan klub Premier League masuk dalam 20 besar klub dengan wage bill tertinggi di Eropa. Kesembilan klub ini saja memiliki total kumulatif €3,27 miliar. Manchester City memimpin dengan estimasi €554 juta, diikuti Liverpool (€449 juta) dan Manchester United (€429 juta). Ini adalah konsentrasi kekayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu liga.

Serie A: Realitas Ekonomi yang Lebih Tertata dan Terbatas

Di seberang Alpen, suasana finansialnya berbeda sama sekali. Deloitte mencatat wage bill Serie A untuk periode yang sama sekitar €2 miliar—hampir setengah dari Premier League. Estimasi untuk musim 2025/26 dari berbagai sumber, termasuk Sofascore, mengonfirmasi bahwa liga Italia bergerak dalam kisaran €1 hingga €2 miliar.

Fakta yang paling mencolok: tidak ada satu pun klub Serie A yang berhasil menembus 20 besar klub dengan wage bill tertinggi di Eropa versi laporan UEFA. Juventus, raksasa tradisional Italia, menurut data Sofascore 2025 memiliki wage bill sekitar €126 juta—angka yang bahkan tidak mendekati sepuluh besar Eropa, dan hanya sekitar seperempat dari Manchester City. Ini bukan pertanda kemiskinan, melainkan bukti dari ekosistem yang beroperasi dengan parameter yang jauh lebih ketat.

Seorang analis senior dari Deloitte Sports Business Group pernah berkomentar, “Premier League telah berhasil menciptakan sebuah siklus virtuosa: pendapatan yang lebih tinggi menarik pemain terbaik, yang meningkatkan kualitas liga dan daya tarik komersialnya, yang kemudian menghasilkan lebih banyak pendapatan. Serie A, sementara itu, harus berjuang untuk memutus siklus sebaliknya.”

Rata-rata Gaji Pemain: Kisah Dua Standar Hidup yang Berbeda

Implikasi dari wage bill yang kolosal itu terasa hingga ke dompet setiap pemain. Rata-rata gaji mingguan di kedua liga ini bukan sekadar angka; mereka mewakili standar hidup, daya tarik karir, dan nilai pasar seorang atlet.

Gaya Hidup Premier League: £80,000 Hanyalah Awal

Di Inggris, status sebagai pesepakbola Premier League otomatis menjamin tempat di strata pendapatan tertinggi secara global. Data dari Salary Leaks 2025 menunjukkan bahwa rata-rata gaji pemain di liga ini adalah £80,000 per minggu, atau sekitar €94,000. Namun, ini hanya rata-rata liga.

Bagi mereka yang bermain untuk klub-klub papan atas—Manchester City, Liverpool, Chelsea, Manchester United, Arsenal, dan Tottenham—angka itu melonjak drastis. Rata-rata di “Big Six” bisa mencapai £110,000 (€129,000) per mingguFootyStats melaporkan bahwa pemain di usia puncak (25-32 tahun) di Premier League memiliki gaji tahunan rata-rata €6,86 juta, atau €132,000 per minggu. Dalam bahasa yang lebih sederhana: menjadi starter reguler di klub top Inggris hampir dipastikan menjadikan Anda seorang multi-jutawan dalam hitungan minggu.

Struktur Gaji Serie A: Bonus dan Kehati-hatian

Lanskap di Italia lebih kompleks dan umumnya kurang glamor secara finansial. Mari kita ambil contoh Inter Milan, juara yang sering disebut sebagai salah satu klub dengan keuangan terbaik di Serie A. Sofascore melaporkan total wage bill Inter untuk seluruh tim adalah €139,7 juta per tahun. Jika dibagi rata ke 25 pemain skuad utama, hasilnya sekitar €107,000 per minggu per pemain.

Baca Juga  Thomas Doll Ungkap Rahasia Marko Simic Bisa Tampil Bersinar di Persija

Perlu ditekankan, ini adalah angka untuk klub puncak. Rata-rata liga secara keseluruhan pasti lebih rendah. Selain itu, Capology mencatat budaya kontrak di Italia yang unik: gaji dasar (base salary) cenderung lebih rendah, tetapi diperkaya dengan bonus performa yang sangat signifikan. Struktur ini mengikat penghasilan pemain dengan pencapaian individu dan tim, mencerminkan pendekatan bisnis yang lebih berhati-hati dan berorientasi hasil. Bagi pemain, ini berarti kepastian finansial yang sedikit lebih rendah, tetapi insentif besar untuk tampil maksimal.

Pemain dengan Gaji Tertinggi: Puncak Gunung Es yang Berbeda Ketinggian

Di sinilah perbedaan “keborosan” itu paling spektakuler terlihat. Kontrak para bintang utama adalah barometer terbaik dari seberapa besar hati—dan seberapa dalam kantong—sebuah liga bersedia mengeluarkan uang.

Elite Premier League: Klub 500 Ribu Pound per Minggu

Puncak piramida di Inggris diduduki oleh sosok yang sudah diduga banyak orang: Erling Haaland. Striker Manchester City ini dikabarkan memiliki paket gaji tahunan senilai £27,3 juta. Itu berarti, setiap minggu, ia membawa pulang sekitar £525,000 atau €620,000. Ini adalah level baru dalam ekonomi sepakbola modern.

Ia tidak sendirian. Mohamed Salah (Liverpool) dan Kevin De Bruyne (Manchester City) diperkirakan memiliki gaji mingguan dalam kisaran £350,000 hingga £400,000. Bahkan jika kita melihat daftar pemain bergaji tertinggi per posisi, angkanya tetap fantastis: dari kiper seperti Alisson (£150,000/minggu), bek seperti Reece James (£250,000/minggu), hingga gelandang dan penyerang lainnya. Yang lebih mencengangkan, data dari Spotrac dan Planet Football menunjukkan ada 21 pemain di Premier League yang gaji tahunannya melebihi €25 juta. Liga ini telah menciptakan kelas super-elite finansial dalam skuadnya.

Bintang Serie A: Besar di Italia, tapi Tetap Tertinggal

Dušan Vlahović memegang mahkota sebagai pemain bergaji tertinggi di Serie A. Striker Juventus itu dilaporkan mendapatkan €22,2 juta per tahun, setara dengan €427,000 per minggu. Angka yang sangat besar, tetapi masih terpaut hampir €200,000 per minggu dibandingkan Haaland.

Pemain terbaik lainnya, seperti Lautaro Martínez (Inter Milan) dan Nicolò Barella (Inter Milan), diperkirakan mendapat gaji antara €12 hingga €15 juta per tahun. Sebuah laporan dari MSN yang mengutip daftar 14 pemain bergaji tertinggi di Serie A pada 2025 menunjukkan sebuah fakta krusial: tidak ada satu pun yang menembus angka €25 juta per tahun. Batas atas di Italia masih di bawah batas bawah untuk kelompok elite di Inggris. Pesannya jelas: untuk imbalan finansial absolut tertinggi, Premier League adalah tujuan satu-satunya.

Faktor-faktor di Balik “Keborosan” Premier League

Mengapa Premier League bisa begitu royal? Keborosan ini bukanlah tindakan sembrono, melainkan hasil dari fondasi bisnis yang luar biasa kokoh dan siklus pertumbuhan yang terus memperkuat dirinya sendiri. Serie A, di sisi lain, beroperasi dengan kendala struktural yang signifikan.

Mesin Uang Premier League: Siaran Global dan Komersialisasi Agresif

Kunci utama terletak pada pendapatan. Deloitte Football Money League edisi Januari 2025 menunjukkan bahwa klub-klub Premier League mendominasi peringkat pendapatan global. Hak siar TV adalah raja. Premier League menjual paket siarannya ke lebih dari 200 wilayah dengan nilai yang tak tertandingi. Aliran dana yang terjamin ini memungkinkan klub-klub merencanakan pengeluaran besar, termasuk gaji, dengan percaya diri.

Baca Juga  Trofi Leroy Sané, Inilah Daftar Lengkap Gelar Juaranya

Selain itu, daya tarik global liga ini menarik sponsor dari perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Kombinasi pendapatan siaran, sponsor, dan komersial (merchandise, tur pra-musim) menciptakan total pendapatan yang jauh melampaui biaya, memungkinkan wage bill tinggi tanpa melanggar aturan Financial Fair Play (FFP) UEFA secara masif. Mereka bermain di liga finansial mereka sendiri.

Kendala Struktural Serie A: Regulasi, Stadion, dan Pendapatan yang Stagnan

Serie A menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, regulasi keuangan yang sangat ketat, baik dari UEFA maupun otoritas domestik Italia. Trauma krisis keuangan klub-klub di masa lalu membuat pengawasan menjadi sangat ketat. Klub harus menjual sebelum membeli, membatasi pertumbuhan wage bill secara alami.

Kedua, kepemilikan stadion. Banyak klub Serie A tidak memiliki stadion sendiri, yang berarti mereka kehilangan aliran pendapatan penting dari tiket, hospitality, dan komersial di sekitar stadion. Ketiga, paket siaran TV domestik yang nilainya stagnan dan bahkan cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir, sementara upaya untuk meningkatkan pendapatan siaran internasional masih tertinggal jauh dari Inggris.

Keberlanjutan vs. Daya Saing: Dua Jalan Menuju Masa Depan

Pertanyaan akhirnya bukan hanya “liga mana yang lebih boros?”, tetapi “model mana yang lebih baik untuk masa depan sepakbola?”

Risiko di Balik Kemewahan Premier League

Keborosan Premier League membawa risiko nyata. Inflasi gaji yang tak terkendali dapat membuat biaya operasi tidak lagi sustainable jika suatu hari pendapatan melambat. Ketergantungan pada pemilik kaya dan investor asing juga menimbulkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi atau politik global. Hukuman point deduction yang diterima Everton dan Nottingham Forest karena melanggar aturan Profit and Sustainability Rules (PSR) adalah tanda peringatan bahwa batasan itu nyata, dan pelanggaran memiliki konsekuensi yang menghancurkan.

Kekuatan Tersembunyi Serie A

Di sisi lain, pendekatan Serie A yang lebih hemat bisa jadi merupakan model keberlanjutan jangka panjang. Keterpaksaan berhemat telah memaksa klub-klub Italia untuk menjadi jenius dalam scouting, pengembangan pemain muda (primavera), dan keputusan transfer yang cerdas. Mereka ahli dalam menemukan permata mentah, memolesnya, dan kadang menjualnya dengan profit besar—sebuah siklus bisnis yang sehat.

Liga ini menawarkan nilai lain: pendalaman taktis, warisan sejarah yang tak ternilai, dan atmosfer yang otentik. Bagi banyak pemain, ini adalah trade-off yang menarik: gaji mungkin sedikit lebih rendah, tetapi peluang untuk berkembang secara teknis dan taktis di “universitas sepakbola” Italia sangat tinggi.

Masa Depan Kompetisi Finansial Eropa

Kesimpulan: Boros sebagai Cerminan Kekuatan, tapi Bukan Jaminan Keabadian

Data musim 2025/26 berbicara dengan jelas: Premier League adalah liga yang paling boros dalam hal gaji pemain, dengan selisih yang sangat lebar dari Serie A. Keborosan ini adalah buah langsung dari keunggulan komersialnya yang luar biasa, sebuah kesuksesan bisnis yang patut diacungi jempol.

Namun, kata “boros” memiliki konotasi negatif—pemborosan sumber daya. Dalam konteks Premier League, ini lebih tepat disebut investasi agresif untuk mempertahankan dominasi global. Bagi Serie A, kehematannya adalah strategi bertahan yang realistis di tengah ketimpangan sumber daya.

Dalam jangka panjang, keberlanjutan mungkin akan menjadi kata kunci. Premier League harus berhati-hati agar siklus virtuosanya tidak berubah menjadi gelembung yang suatu saat bisa pecah. Serie A, sementara itu, harus terus berinovasi untuk meningkatkan pendapatannya agar tidak tertinggal secara permanen. Perang gaji ini bukanlah sprint, melainkan marathon yang akan menentukan peta kekuatan sepakbola Eropa untuk dekade mendatang. Satu hal yang pasti: ketimpangan hari ini akan terus membentuk narasi persaingan di lapangan esok hari.

Ikuti terus analisis mendalam seputar finansial sepakbola, taktik, dan berita transfer terkini hanya di Score.co.id.