Kenapa Real Madrid Sering Krisis di Musim Kedua Pelatih? Analisis Kutukan Bernabeu

Fakta Dibalik Penurunan Performa Skuad Los Blancos

Kenapa Real Madrid Sering Krisis di Musim Kedua Pelatih Analisis Kutukan Bernabeu
Kenapa Real Madrid Sering Krisis di Musim Kedua Pelatih Analisis Kutukan Bernabeu

Kenapa Real Madrid Sering Krisis

score.co.id – Di Santiago Bernabéu, trofi adalah bahasa yang paling dimengerti dan kesabaran adalah kata asing. Sebuah pola misterius namun nyata telah menghantui kursi kepelatihan klub termegah di dunia itu: sebuah penurunan performa yang kerap terjadi tepat di musim kedua seorang manajer. Bukan mistik, ini adalah “Kutukan Bernabéu”—sebuah fenomena struktural yang lahir dari perpaduan mematikan antara ekspektasi ekstrem, politik internal, dan warisan budaya klub yang unik. Dengan Xabi Alonso yang baru saja memulai petualangannya pada Juni 2025, sebuah pertanyaan besar menggantung: akankah sang jenius taktik, yang sukses menciptakan tim “Invincible” di Jerman, menjadi korban berikutnya, atau justru sang pematah kutukan?

Mengungkap Pola Historis: Sebuah Siklus yang Terlalu Akrab

Menyebutnya “kutukan” mungkin terdengar dramatis, namun datanya bersuara lantang. Sejarah Real Madrid modern dipenuhi dengan kisah pelatih yang bersinar di tahun pertama, hanya untuk menemui jalan buntu—atau bahkan kehancuran—di tahun kedua.

Lihatlah Carlo Ancelotti. Di masa jabatan pertamanya (2013-2015), ia membawa pulang La Décima (gelar Champions League ke-10) yang sangat didambakan, namun dipecat setahun kemudian karena performa yang dianggap mengecewakan. Kembalinya pada 2021 pun mengikuti pola serupa: diawali dengan kesuksesan gemilang (memenangkan Liga Champions 2022 dan 2024), namun berakhir dengan musim 2024/25 yang tanpa gelar dan kritik tajam, hingga akhirnya hengkang. Pola yang mirip terlihat pada Zinedine Zidane. Setelah tiga Liga Champions beruntun di periode pertama, ia kembali pada 2019, memenangkan LaLiga di musim pertama, namun memilih mengundurkan diri setelah musim kedua yang kosong prestasi, diduga karena tekanan dan kurangnya dukungan.

Ketika Anda menjadi pelatih Real Madrid, Anda harus siap menghadapi situasi-situasi ini dengan tenang, dengan kebersamaan, dan dengan tanggung jawab yang saya rasakan,” ujar Xabi Alonso dalam sebuah konferensi pers, menggambarkan beban yang melekat pada jabatannya. Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi; itu adalah pengakuan terhadap lingkungan yang menuntut kemenangan instan dan memberikan toleransi yang sangat kecil terhadap kegagalan.

Fakta Dibalik Penurunan Performa Skuad Los Blancos
Fakta Dibalik Penurunan Performa Skuad Los Blancos

Membongkar Akar Masalah: Tekanan, Ego, dan Krisis Identitas

“Kutukan” ini bukanlah kebetulan atau nasib buruk. Ia adalah gejala dari tiga penyakit kronis di jantung Real Madrid.

Baca Juga  Bek Girona Dincar Bayern Munchen, Harganya Capai 500 Miliar

Tekanan dari Kursi Kepresidenan dan Ekspektasi Instant

Di bawah kepemimpinan Florentino Pérez, klub dijalankan dengan filosofi “Galáctico” yang gemerlap. Namun, seringkali, perburuan bintang-bintang besar seperti Kylian Mbappé dan Jude Bellingham mengabaikan keseimbangan skuad. Presiden juga dikenal memiliki intervensi tertentu dan “leash” atau tali kekang yang sangat pendek terhadap pelatih. Kemenangan kemarin adalah kenangan, dan kekalahan hari ini adalah krisis. Siklus ini menciptakan lingkungan di mana perencanaan jangka panjang sering dikorbankan untuk keselamatan jangka pendek.

Manajemen Ego Ruang Ganti yang Rumit

Mengelola ruang ganti yang dipenuhi pemain bintang dengan harga diri setinggi langit adalah tantangan tersendiri. Insiden Vinícius Júnior yang marah dan langsung menuju kamar ganti saat ditarik keluar pada debut El Clásico Alonso adalah contoh nyata. Konflik kepentingan, persaingan posisi, dan sulitnya menerapkan disiplin taktis pada individu-individu super adalah bom waktu yang sering meledak di musim kedua, ketika kebaruhan telah hilang dan tuntutan semakin tinggi.

Krisis Identitas Taktis dan Ketergantungan pada Individu

Real Madrid kerap terjebak dalam dikotomi antara bermain sebagai “tim” yang terstruktur dan sebagai kumpulan “individu” jenius. Di bawah Ancelotti, kritik sering muncul bahwa tim terlalu bergantung pada momen-momen ajaib pemainnya, alih-alih memiliki skema permainan kolektif yang kokoh seperti pressing atau counter-pressing yang sistematis. Ketika pelatih baru datang dengan ide struktural yang kuat—seperti yang diharapkan dari Alonso—proses transisinya bisa berbenturan dengan kebiasaan dan “zona nyaman” para bintang ini, menciptakan kebingungan taktis yang berujung pada hasil buruk.

PelatihPrestasi Musim PertamaHasil Musim Kedua
Carlo Ancelotti (2013-2015)La Décima (Champions League ke-10)Dipecat karena performa mengecewakan
Carlo Ancelotti (2021-2025)Liga Champions 2022 dan 2024Musim 2024/25 tanpa gelar, hengkang
Zinedine Zidane (2019-2021)LaLigaKosong prestasi, mengundurkan diri
Baca Juga  Baru Dipinjam 3 Hari, Barca Retur Marcus Rashford ke MU Hari Ini

Xabi Alonso: Sang Juru Selamat atau Calon Korban Terbaru?

Konteks inilah yang membuat era Xabi Alonso menjadi percobaan sosial paling menarik di sepak bola Eropa. Dia tiba pada Juni 2025, dengan status legenda sebagai pemain dan reputasi jenius taktis setelah membawa Bayer Leverkusen menjadi juara Bundesliga tak terkalahkan. Filosofinya yang berbasis penguasaan posisi (positional play), intensitas tinggi, dan kontrol adalah antitesis dari gaya Madrid yang lebih relasional dan individualis beberapa tahun terakhir.

Tanda-tanda awal menunjukkan konflik yang tak terhindarkan. Di satu sisi, Alonso menunjukkan kemampuan beradaptasi. Pada kemenangan 2-1 atas Barcelona di El Clásico pertamanya, dia memperlihatkan fleksibilitas dengan menggunakan formasi 4-3-3 yang berubah menjadi 4-4-2 yang padat saat tidak menguasai bola, berfokus pada penguasaan lini tengah dan transisi cepat. Ini adalah adaptasi pragmatis dari prinsipnya.

“Kontrol tidak selalu ada bersama bola. Terkadang kontrol adalah di mana posisimu ketika tim lawan yang memilikinya,” pernah dikatakan Alonso, merangkum filosofinya yang berorientasi pada penguasaan ruang.

Namun, di sisi lain, warisan masalah masih membayangi. Krisis cedera di lini pertahanan, ketergantungan pada performa individu, dan insiden disiplin seperti yang dialami Vinícius adalah gema dari masalah lama. Bahkan, tekanan sudah terasa sejak dini. Ada laporan yang menyebutkan bahwa Alonso menerima semacam “ultimatum” terkait hasil pertandingan tertentu di Liga Champions, gambaran nyata dari iklim kerja yang penuh tekanan di Bernabéu.

Mematahkan Siklus: Mungkinkah Kutukan Berakhir?

Lalu, apakah siklus ini akan berlanjut selamanya? Tidak harus. Sejarah juga mencatat pengecualian, seperti Miguel Muñoz yang sukses dalam periode panjang. Kunci untuk mematahkan “kutukan” ada pada penanganan akar masalahnya.

  • Pertama, membangun kedaulatan taktis dan identitas tim. Alonso harus diberi waktu dan otoritas untuk mencetak tim dengan identitasnya yang jelas, sekaligus secara cerdas mengakomodasi keunggulan individu pemain bintang. Ini adalah perpaduan antara positionism (sistem) dan relationism (hubungan antar-pemain) yang ia coba terapkan.
  • Kedua, dukungan transfer yang strategis, bukan sekadar glamor. Manajemen perlu mendukung pelatih dengan perekrutan pemain yang memenuhi kebutuhan taktis spesifik, bukan hanya nama-nama besar yang menjual jersey.
  • Ketiga, manajemen ekspektasi kolektif yang lebih realistis. Ini membutuhkan perubahan budaya, dari presiden, media, hingga suporter, untuk memahami bahwa proses pembangunan membutuhkan konsistensi dan kesabaran.
Baca Juga  Mantan Bos Marseille Tolak Mengurus Klub Sevilla, Ini Alasannya

Proyeksi: Pertaruhan Besar bagi Madrid dan Alonso

“Kutukan Bernabéu” pada akhirnya adalah cermin dari identitas Real Madrid sendiri: klub yang dibangun untuk menang dan bersinar, namun sering kali terhambat oleh hasratnya sendiri untuk terus bersinar lebih terang. Xabi Alonso tidak hanya memikul tugas meraih trofi, tetapi juga misi yang lebih kompleks: melakukan rekayasa ulang budaya klub.

Musim pertamanya akan diwarnai masa percobaan dan adaptasi. Musim keduanya, yang secara historis menjadi titik kritis, akan menjadi ujian sebenarnya. Akankah filosofi kontrol dan struktur ala Alonso dapat bertahan dari badai tekanan, ego, dan tuntutan hasil instan di Bernabéu? Ataukah, seperti banyak pendahulunya, ia akan menjadi martir berikutnya dari pola yang dipahami semua orang, namun sulit dihentikan?

Jawabannya akan menentukan tidak hanya masa depan Alonso, tetapi juga arah Real Madrid untuk satu dekade ke depan. Satu hal yang pasti: di atas panggung paling glamor dan paling kejam di sepak bola dunia, drama “Kutukan Bernabéu” musim kedua sedang bersiap untuk babak barunya.

Pantau terus analisis mendalam dan perkembangan terkini seputar taktik, transfer, dan dinamika klub hanya di score.co.id.