Kenapa MLS Tidak Ada Degradasi
score.co.id – Mengapa Major League Soccer (MLS), liga sepakbola terkemuka di Amerika Serikat dan Kanada, menolak sistem promosi-degradasi yang jamak di liga global? Di tengah gegap gempita sepakbola Eropa atau Amerika Latin, model tertutup MLS kerap memicu tanda tanya besar. Artikel ini mengupas tuntas strategi di balik kebijakan kontroversial tersebut dan gelombang perubahan yang mengancam status quo.
Fondasi Bisnis: Model Waralaba dan Jaminan Investasi
MLS berdiri di atas pilar bisnis yang radikal berbeda dengan liga tradisional. Alih-alih mengadopsi piramida kompetisi terbuka, liga ini beroperasi sebagai entitas tunggal dengan sistem waralaba tertutup. Setiap klub adalah bagian dari kepemilikan kolektif, di mana investor membeli hak waralaba-bukan kepemilikan independen.

Pada 2025, biaya ekspansi untuk masuk MLS mencapai $500 juta, seperti yang dibayarkan San Diego FC. Nilai fantastis ini diimbangi jaminan bahwa klub tak akan terdegradasi seumur hidup, berapapun buruknya performa. Komisaris MLS Don Garber berargumen: risiko degradasi-seperti kehilangan pendapatan siaran, sponsor, dan penjualan tiket-akan menghancurkan nilai investasi. Dalam pasar olahraga AS yang didominasi NFL dan NBA, model ini dianggap satu-satunya cara menarik miliarder untuk membangun sepakbola dari nol.
Debat Kompetitif: Stabilitas Melawan Stagnasi
Absennya degradasi memicu perdebatan sengit antara dua kubu: pendamba integritas kompetisi versus pengusung stabilitas finansial.
Kritik: Siklus Mediokritas Tanpa Konsekuensi
Para puris sepakbola menuding sistem tertutup melahirkan kultur nyaman bagi klub underperformer. Chicago Fire, misalnya, hanya dua kali lolos playoff sejak 2010, tapi tetap aman di MLS tanpa tekanan sportif. Tim-tim di divisi bawah seperti USL Championship-yang sering lebih kompetitif-tak punya jalur naik meski berprestasi. Akibatnya, liga kehilangan “stakes” (taruhan kompetitif) yang menjadi jantung drama sepakbola global.
Dukungan: Fondasi Wajib untuk Pertumbuhan
Pendukung model MLS menekankan bahwa stabilitas finansial adalah prasyarat mutlak untuk membangun sepakbola di AS. Berkat jaminan ini, liga sukses merekrut bintang seperti Lionel Messi, membangun 18 stadion khusus sepakbola, dan mencatat rekor kehadiran penonton (rata-rata 22.111 per laga pada 2024). Nilai waralaba pun meroket 200% dalam dekade terakhir. “Tanpa sistem ini, MLS mungkin sudah kolaps seperti NASL 1980-an,” ujar satu analis.
Gelombang Perubahan dari Bawah: Revolusi USL
Tahun 2025 menjadi titik balik ketika United Soccer League (USL)-liga divisi dua dan tiga-mengumumkan rencana sistem promosi-degradasi tiga tingkat mulai 2026. Langkah ini bukan sekadar perubahan format, melainkan tantangan filosofis terhadap hegemon MLS.
USL sengaja memposisikan diri sebagai “alternatif global” dengan menawarkan:
- Kompetisi berbasis merit: Klub naik/turun murni berdasarkan hasil lapangan.
- Keterjangkauan investasi: Biaya waralaba USL hanya $20-30 juta vs $500 juta di MLS.
- Keterlibatan komunitas: Model bottom-up memaksa klub berinovasi menarik basis lokal.
Strategi ini adalah permainan jangka panjang. USL sadar tak bisa menyaingi daya pikat bintang seperti Messi, tapi mereka membidik pasar yang terabaikan MLS: penggemar puris yang haus drama kompetisi ala Liga Inggris atau Serie A. Jika sukses, USL berpotensi menggerus dominasi MLS dengan membangun ekosistem sepakbola yang lebih otentik.
Masa Depan: Dua Visi yang Bertarung
Pertarungan MLS vs USL mencerminkan konflik identitas sepakbola AS:
- MLS: Mempertahankan model “olahraga Amerika” yang terpusat, mengutamakan kepastian bisnis untuk investor.
- USL: Mengadopsi “jiwa sepakbola global” yang desentralistik, menempatkan kompetisi sebagai inti.
Proyeksi ke depan:
- MLS tak akan berubah dalam 5-10 tahun. Biaya waralaba $500 juta terlalu besar untuk dipertaruhkan dengan degradasi.
- USL berpotensi jadi “laboratorium pro/rel”. Jika berhasil meningkatkan nilai media dan sponsor, liga ini bisa memaksa MLS berevaluasi.
- Tekanan dari penggemar muda yang terpapar sepakbola global via streaming mungkin mendorong reformasi bertahap.
Seperti diungkapkan CEO USL, “Kami tidak ingin jadi MLS kedua. Kami ingin jadi USL pertama yang menghadirkan sepakbola yang sesungguhnya.”
Penutup
Ketiadaan degradasi di MLS bukanlah kebetulan, melainkan pilihan sadar berbasis realitas pasar AS. Meski dikritik sebabkan stagnasi, model ini terbukti efektif membangun infrastruktur dan menarik investasi. Tantangan kini datang dari USL yang mengusung ideologi kompetisi murni. Pertarungan dua visi ini akan menentukan wajah sepakbola Amerika Utara pasca-2030. Satu hal pasti: drama di luar lapangan tak kalah seru dari pertandingan itu sendiri.
Jangan lewatkan analisis eksklusif lainnya seputar dunia sepakbola! Pantau terus perkembangan terkini hanya di score.co.id.












