Dari Cibinong ke Hong Kong, kisah UMKM lokal menduniakan rempeyek

20230907 173627 1 SCORE.CO.ID

Score – Di sebuah gang menanjak yang membelah Cibinong, satu bangunan kecil berdiri di antara deretan rumah lainnya. Warna hijaunya yang mengingatkan pada stabilo mencuri perhatian orang yang lewat.

Sejumlah motor dijejerkan di pelataran bangunan itu. Pintu kayu bangunan itu terbuka lebar, dari dalamnya semerbak wangi peyek tercium sampai ke jalanan.

Sebuah rak besi terletak di sudut ruangan pertama bangunan itu. Berbagai kemasan dengan jenis dan ukuran yang berbeda dipampang di situ. Deretan paling atas diisi beberapa boks serta lusinan toples, ada juga toples yang umumnya untuk menyimpan kerupuk, dengan motif batik di setiap sisinya. Deretan kedua dipenuhi kemasan plastik, kemudian di deretan ketiga ada toples-toples yang berukuran lebih besar.

Masih di ruangan yang sama, ada beberapa sertifikat yang dipajang. Penghargaan, sertifikasi UMKM, pelatihan, cap halal, terpasang rapi di satu sisi dindingnya. Sebuah meja besar serta dua kursi untuk menerima tamu tersusun rapi, memakan sebagian besar tempat di ruangan itu

Di bangunan inilah sepasang suami dan istri menjalankan bisnis rempeyeknya, “Rempeyek Syahna”, yang perlahan-lahan mulai dikenal dunia.

Eko Pusbiantari, otak di balik bisnis tersebut, menceritakan jejak perjuangannya membangun usaha makanan itu, hingga akhirnya bisa sampai ekspor ke luar negeri.

Dulu, dia menjalankan bisnis katering untuk sekolah-sekolah. Namun, semenjak COVID-19 melanda pada tahun 2020, usahanya mulai kesulitan. Di tengah tantangan seperti itulah ide briliannya muncul.

“Karena pembelajarannya sudah online ya, maka jadi banting setir. Apa lagi yang sekiranya bisa jadi cuan? Di saat-saat COVID orang lagi stay di rumah, enggak bisa ke mana-mana, akhirnya punya ide itu. ‘Coba kita bikin cemilan yang bisa buat lauk plus buat ngemil, pasti orang bakal jarang ada yang keluar rumah’,” kata Eko kemudian tersenyum sumringah mengingat awal-awal masa itu.

Awalnya, dia hanya mempromosikan rempeyek buatannya ke tetangga sekitarnya. Merasa tertarik kepada barang jualannya, mereka pun membelinya lagi dan lagi.

Eko juga berusaha memasarkannya melalui media sosial. Berbagai platform, seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp, bahkan Google Ads, dia jajal guna memperkenalkan kreasinya kepada dunia. Netizen banyak yang bertanya-tanya soal produk itu, seperti tentang harga, serta cara pengirimannya.

“Jadi beli atau nggaknya belakangan,” katanya.

Lambat laun, bisnisnya pun mulai berkembang. “Rempeyek Syahna” mendapatkan perpanjangan tangan di Jabodetabek, melalui sejumlah reseller yang tersebar di wilayah megapolitan itu.

Bermula pesanan dari Hong Kong

Suatu hari, di awal 2021, seorang pelanggan memesan rempeyeknya, namun meminta untuk dikirimkan ke Hong Kong.

Karena ada kekhawatiran soal rempeyek itu, seperti apabila rempeyek itu hancur, maka Eko pun menawarkan berbagai pilihan bagi si pelanggan, salah satunya rempeyek berbentuk brittle, yang sekilas mirip cookies. Pelanggan itu mengiyakan, bahkan menanggung seluruh biaya pengiriman dari Indonesia ke Hong Kong.

“Ternyata di sana itu mau di-drop di pusat oleh-oleh Indonesia,” ujarnya. Harganya pun dijual berkali-kali lipat dibandingkan yang di Tanah Air.

Produknya pernah dipajang di West Mall Singapore bersama produk-produk UMKM lainnya, yang telah lolos kurasi mengalahkan segudang produk UMKM lainnya.

Dalam waktu dekat, katanya, mereka akan mengirimkan produknya, sebanyak 30 toples ukuran 5 liter, ke Uni Emirat Arab. Setelah ditanya-tanya, ternyata pihak yang meminta pengiriman rempeyek itu mengetahui tentang produknya dari Instagram.

Eko berjuang agar rempeyeknya bisa diekspor ke seluruh penjuru dunia. Dia gigih mengirimkan e-mail ke KBRI di berbagai belahan dunia agar terbuka lebar pintu baginya untuk memperkenalkan rempeyek ke komunitas global. Sikap pantang menyerahnya itu berbuah manis, karena kini dia mendapatkan omzet sebesar hampir Rp15 juta per bulannya.

Exit mobile version