Score – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa bahwa kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA) merupakan konsistensi pemerintah terhadap upaya meningkatkan kualitas industri nasional.
Hal ini disampaikan Bambang saat berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.
Awalnya, dia mengatakan pembangunan nasional Indonesia saat ini masih bergantung kepada sumber daya alam.
Sebab, di awal kemerdekaan sampai 1990-an, sumber daya alam berupa minyak mentah, gas alam dan batubara serta hasil alam lainnya menjadi penopang utama sumber devisa, yang berdampak terhadap stabilitas moneter.
“Namun, kekayaan alam yang luar biasa besar tersebut, tak berdaya di tengah situasi global yang berubah dan melahirkan badai ekonomi besar di kawasan,” ujar Bamsoet dalam Siaran Langsung Pidato Kenegaraan Presiden RI Pada Sidang Tahunan MPR RI, Sidang Bersama DPR RI-DPD RI yang dipantau secara daring melalui kanal YouTube DPR RI, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, masyarakat Indonesia harus menyadari agar tidak terus-menerus bergantung sepenuhnya kepada sumber daya alam mentah sebagai sumber utama devisa. Untuk itu, pemerintah telah bekerja keras dan meyakinkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) supaya aktif berpartisipasi aktif dalam proses hilirisasi.
Hal ini dilakukan dengan berinvestasi langsung di Indonesia untuk membangun, dan mengembangkan kapasitas industri domestik, sebagai penyerap sumber-sumber mineral.
“Sumber daya alam mentah yang ada harus mampu dikelola sendiri di dalam negeri, sehingga menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi, dan menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” katanya.
Ia menegaskan hilirisasi industri adalah upaya mewujudkan perekonomian nasional yang efisien dan berkeadilan sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam mewujudkan upaya itu, lanjut Bamsoet, diperlukan perubahan pola pikir (mindset) pembangunan pada masing-masing pemangku kepentingan, baik di kalangan pemerintah, pelaku bisnis maupun masyarakat.
Tujuannya adalah tercapainya kolaborasi berbagai pihak, buat menata ulang pembangunan ekonomi yang dapat menghasilkan pertumbuhan, yang berkualitas serta berkelanjutan.
“Hal itu itu dapat diwujudkan dengan mempromosikan model ekonomi yang berbasis sirkularitas, atau mengupayakan efisiensi sumber daya, serta upaya pemanfaatan kembali residu yang dihasilkan dari industri, untuk diolah kembali dan memberikan nilai tambah yang lebih besar serta berulang,” jelas dia.
Adapun paradigma sirkularitas tentunya hanya dapat berjalan ketika kualitas industri nasional sudah mampu secara seksama melakukan pemrosesan material sumber daya dari hulu ke hilir. Ini juga sebagaimana yang digagas Presiden Joko Widodo tentang hilirisasi mineral; emas, bauksit, nikel, tembaga dan bijih besi.
Mineral tersebut didorong untuk proses hilirisasi, yang dibarengi dengan upaya pelarangan ekspor mineral mentah.
“Kebijakan ini menunjukkan konsistensi pemerintah terhadap upaya meningkatkan kualitas industri nasional,” pungkas Bamsoet.
Sebelumnya, pada Rabu (16/6), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi sumber daya alam pada akhirnya akan berbuah manis bagi perekonomian bangsa.
“Ini memang pahit bagi pengekspor bahan mentah. Ini juga pahit bagi pendapatan negara jangka pendek. Tapi jika ekosistem besarnya sudah terbentuk, jika pabrik pengolahannya sudah beroperasi, saya pastikan Ini akan berbuah manis pada akhirnya,” kata Presiden Jokowi saat berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.
Jokowi menekankan kebijakan hilirisasi sumber daya alam harus terus dilanjutkan karena akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Indonesia, kata Jokowi, tidak boleh hanya menjadi negara kaya sumber daya alam, namun tidak mampu mengelola kekayaan tersebut sehingga tidak mendapatkan nilai tambah ekonomi. Status negara kaya sumber daya alam saja, ujar Jokowi, tidak cukup karena dikhawatirkan akan membuat Indonesia menjadi bangsa pemalas tanpa memperoleh nilai tambah.