Score – Indonesia masih mempunyai sisa waktu 37 tahun sebelum mencapai tenggat emisi nol bersih (net zero emission/NZE) yang ditargetkan. Berbagai sektor bisnis mulai menata diri dan bergerak cepat menuju arah keberlanjutan sambil “menabung” inovasi demi inovasi.
Sektor energi menjadi salah satu pemain yang diharapkan menyumbang kontribusi signifikan di dalam upaya penyelamatan krisis lingkungan. Sembari pelan-pelan meninggalkan bahan bakar fosil, kini dunia pun melirik hidrogen sebagai sumber energi masa depan yang menjanjikan potensi “hijau”.
Hidrogen memang dapat dihasilkan dari berbagai sumber dengan metode yang beragam. Namun, hidrogen hanya dapat dikatakan berkelanjutan apabila seluruh proses produksinya tidak meninggalkan jejak karbon. Maka, jalan yang paling aman tentu dengan menggunakan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya atau angin.
Bahan bakar hidrogen nantinya dapat dimanfaatkan untuk berbagai sektor, terutama sektor industri dan transportasi. Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi BRIN Eniya Listiani Dewi memproyeksikan bahwa permintaan (demand) hidrogen untuk kebutuhan sektor transportasi akan meningkat hingga pada puncaknya pada 2060. Tingkat permintaan tersebut bahkan diperkirakan lebih banyak dibanding permintaan dari sektor industri.
Mengingat betapa pentingnya pengembangan hidrogen hijau di Indonesia, pemerintah diharapkan segera mengeluarkan peta jalan (roadmap) yang realistis dengan rincian strategi nasional. Selain itu, diperlukan pula regulasi serta standar yang jelas. Dokumen-dokumen tersebut juga dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha yang menaruh minat pada investasi hijau, khususnya investasi pada penelitian dan pengembangan.
Potensi dan ekosistem
Pemerintah berencana menggunakan hidrogen hijau di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara sebesar 20 persen pada tahun 2038 serta meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2045. Melihat kebutuhan yang potensial tersebut, pemain dalam negeri harus mengambil langkah cepat untuk memaksimalkan pengembangan hidrogen.
Bahkan, pemain industri manufaktur dalam negeri juga dibutuhkan dalam penguasaan pengembangan teknologi elektroliser hidrogen (hydrogen electrolyzers) serta sel bahan bakar (fuel cell). Sebab, penguasaan terhadap dua teknologi hidrogen tersebut sekaligus dapat mendukung pencapaian tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dengan persentase yang cukup tinggi.
Angin segar pengembangan hidrogen dalam negeri sudah mulai dirasakan sejak kehadiran pabrik hidrogen hijau pertama di Indonesia yang diresmikan PLN pada Oktober lalu. Kapasitas produksi hidrogen di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Jakarta, itu mencapai 51 ton per tahun.
Sebulan berikutnya atau tepat pada Senin (20/11), PLN meresmikan pabrik hidrogen hijau sebanyak 21 unit yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan kapasitas produksi 199 ton per tahun. Dari total jumlah produksi tersebut, sebanyak 124 ton di antaranya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, termasuk untuk kendaraan hidrogen.
Menurut hitung-hitungan PLN, 124 ton hidrogen hijau yang diproduksi tersebut bisa digunakan untuk 424 mobil hidrogen setiap tahunnya dengan asumsi rata-rata konsumsi hidrogen sebesar 0,8 kg per 100 kilometer dalam sehari. Dengan kata lain, hidrogen hijau yang digunakan untuk kendaraan itu dapat menyumbang penurunan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2 dan mengurangi impor BBM sebesar 1,55 juta liter per tahun.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo meyakini bahwa pemerintah tidak hanya mendorong peralihan ke arah kendaraan listrik guna mewujudkan target emisi nol bersih, melainkan juga menuju pemanfaatan kendaraan hidrogen di dalam negeri. Dia juga yakin, pengurangan karbon bisa lebih ditekan apabila pemerintah menjalankan dua skenario tersebut, baik melalui kendaraan listrik maupun kendaraan hidrogen.
Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi menekankan bahwa hidrogen hijau termasuk bahan bakar masa depan yang menjadi bagian penting bagi Indonesia untuk mencapai transisi energi. Dia pun menyampaikan apresiasi kepada PLN yang sudah berkomitmen dalam pengembangan hidrogen hijau,
“Sekarang kita harus mulai karena ke depan potensi hidrogen sangat besar baik untuk kita pakai sendiri maupun ada potensi untuk ekspor,” ujar Yudo.
Dalam lanskap global, Indonesia memang didorong untuk dapat memposisikan diri di tengah pasar hidrogen global mengingat berlimpahnya sumber daya alam yang dapat dijadikan modal untuk diolah menjadi energi hidrogen. Bahkan, BRIN telah mewanti-wanti, jangan sampai Indonesia kalah bersaing dari negara tetangga dan hanya dijadikan pasar sasaran (target market) belaka.
Eniya, peneliti dari BRIN, mengingatkan pentingnya Indonesia untuk menjalin kemitraan internasional dalam pengembangan hidrogen hijau. Selain PLN sendiri, pelaku usaha yang hendak mengembangkan hidrogen hijau juga diingatkan untuk mengantongi sertifikat energi terbarukan (renewable energy certificate/REC) sehingga lebih mudah masuk dalam rantai pasok global.
Sejumlah negara tetangga, seperti Australia, telah memposisikan diri sebagai negara eksportir hidrogen di tengah persaingan global. Australia pun mulai membidik negara-negara tujuan untuk memasarkan produknya.
Akan tetapi, Australia masih memproduksi hidrogen abu-abu (grey hydrogen) yang dinilai memiliki emisi karbon yang tinggi. Sementara itu, Indonesia melalui PLN sudah memproduksi hidrogen hijau dengan harga jual yang relatif murah jika dibandingkan di tingkat internasional.
Harga jual hidrogen hijau yang mengantongi REC, misalnya, diperkirakan bisa mencapai 5,41 dolar AS per kilogram di pasar ekspor. Dengan harga jual yang cukup murah, Indonesia didorong untuk ekspor hidrogen hijau ke negara-negara potensial dengan tingkat permintaan yang tinggi.
Rantai pasok dan ekosistem hidrogen hijau di dalam negeri memang sudah mulai terbangun di tahap awal. Namun, pekerjaan rumah selanjutnya tentu masih menanti untuk diselesaikan Pemerintah.
Melalui penerapan strategi yang terukur dalam pengembangan hidrogen hijau, maka bukan tidak mungkin Indonesia lebih cepat mencapai target emisi nol bersih di tahun 2060 seperti yang selalu dicita-citakan. Bahkan, lebih dari itu, Indonesia bisa meraih peluang untuk menjadi hub hidrogen global.