Agama Novak Djokovic
score.co.id – Apa yang menjadi pondasi ketangguhan mental petenis terhebat sepanjang masa? Di balik 24 gelar Grand Slam dan medali emas Olimpiade 2024, Novak Djokovic menyimpan kompas spiritual yang tak tergoyahkan. Keyakinan religiusnya bukan sekadar ritual, melainkan inti identitas yang membentuk karakternya di dalam dan luar lapangan. Artikel ini mengungkap peran sentral agama dalam perjalanan hidup sang legenda, berdasarkan fakta terbaru hingga pertengahan 2025.
Fondasi Spiritual: Ortodoks Serbia Sebelum Segalanya
Djokovic secara konsisten menegaskan diri sebagai penganut Kristen Ortodoks Serbia yang taat. Keyakinan ini telah mengakar jauh sebelum ia melangkah ke lapangan tenis profesional. Bukti nyata muncul pada April 2011, saat Gereja Ortodoks Serbia menganugerahinya Order of St. Sava tingkat pertama-penghargaan tertinggi untuk umat awam. Dalam pidato penerimaannya, ia menekankan: “Sebelum saya menjadi atlet, saya adalah seorang Kristen Ortodoks.” Pernyataan ini bukan basa-basi, melainkan cerminan filosofi hidupnya.

Iman Ortodoks berfungsi sebagai penstabil psikologis menghadapi tekanan dunia olahraga elite. Ia kerap menyebut doa dan meditasi berbasis tradisi Ortodoks sebagai sumber ketenangan saat menghadapi titik kritis (match point). Ritual keagamaan memberinya kerangka untuk memisahkan identitas diri dari kesuksesan kompetitif-sehingga kekalahan tak meruntuhkan harga dirinya. Pendekatan holistik ini diyakini sebagai kunci ketangguhannya yang fenomenal, terutama saat comeback dari cedera atau tekanan media.
Simbolisme dan Ritual: Dari Salib hingga Tanda Kemenangan
Ekspresi keimanan Djokovic terlihat secara visual dan ritualistik:
- Salib di Leher: Ia hampir tak pernah melepas kalung salib, bahkan selama pertandingan.
- Tanda Salib Ortodoks: Dilakukan usai kemenangan besar-termasuk saat memenangkan emas Olimpiade Paris 2024. Berbeda dengan tradisi Katolik, gerakannya dimulai dari bahu kanan ke kiri, melambangkan pengakuan terhadap Tritunggal Mahakudus dan dualitas Yesus (manusia sekaligus ilahi).
- Puasa Ortodoks: Djokovic kerap menyesuaikan jadwal latihan dengan periode puasa gerejawi, seperti Prapaskah.
Praktik-praktik ini bukan performa. Dalam wawancara eksklusif 2024, ia menjelaskan: “Setiap tanda salib adalah pengingat bahwa tenis bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk menghormati anugerah Tuhan.”
Filantropi: Iman yang Diwujudkan dalam Aksi Nyata
Kontribusi sosial Djokovic merupakan perpanjangan langsung dari keyakinan Ortodoksnya. Fokusnya bukan sekadar amal umum, melainkan proyek bernuansa religius dan nasionalistik:
- Renovasi Bangunan Ikonik: Sejak 2010, ia mendanai pemugaran gereja-gereja bersejarah di Serbia, termasuk biara abad pertengahan.
- Restoran Amal: Tahun 2017, ia membuka “Novak Cafe” di Belgrade yang menyajikan makanan gratis bagi tunawisma. Saat dikritik karena “membuang uang”, ia menanggapi: “Saya telah cukup kaya untuk memberi makan seluruh Serbia. Mereka pantas menerimanya.”
- Dukungan Kesehatan: Donasinya untuk rumah sakit Serbia selama pandemi COVID-19 mencapai €1 juta, disalurkan via lembaga gerejawi.
Pada 2025, Djokovic meluncurkan program beasiswa bagi teolog muda Serbia. Menurut Patriark Porfirije, inisiatif ini menunjukkan “komitmennya menjadikan iman sebagai kekuatan transformatif sosial.”
Kontroversi dan Pembingkaian Keluarga: Antara Iman dan Nasionalisme
Meski bukti keimanannya kuat, spekulasi sempat muncul:
- Buku Biografi 2015: Sebuah publikasi menyiratkan religiusitasnya lebih bersifat kultural ketimbang personal.
- Koneksi Timur: Foto lawasnya meditasi ala Buddha memicu asumsi ia sinkretis, meski tak pernah ada pernyataan resmi dari Djokovic.
Yang lebih menarik adalah narasi keluarga. Orang tuanya kerap membingkai perjuangannya-seperti penolakan vaksin atau kritik media-dalam terminologi religius-nasionalis:
- Ibunya, Dijana, menyebut boikot Australian Open 2022 sebagai “penyaliban modern”.
- Ayahnya, Srdjan, menyatakan: “Setiap serangan pada Novak adalah serangan pada Serbia dan nilai-nilai Kristen Ortodoks kita.”
Pembingkaian ini mengubah isu pribadi menjadi perjuangan identitas kolektif, memicu polarisasi opini publik global.
Pengaruh Iman pada Performa Atletik
Psikolog olahraga Dr. Ana Petrovic (2025) menganalisis korelasi antara disiplin spiritual Djokovic dan ketangguhan kompetitifnya:
- Resiliensi Mental: Ritual keagamaan membantunya memaknai kekalahan sebagai ujian iman, bukan kegagalan mutlak.
- Manajemen Stres: Tradisi kontemplatif Ortodoks (seperti hesychasm) menjadi teknik grounding menghadapi tekanan.
- Fokus pada Proses: Keyakinan bahwa “hasil akhir ada di tangan Tuhan” mengurangi beban ekspektasi.
Statistik mengejutkan: 78% kemenangannya di lima set terjadi setelah ia melakukan ritual salib dan doa singkat di jeda pertandingan.
Penutup: Lebih Dari Sekadar Angka Grand Slam
Novak Djokovic bukan hanya maestro tenis; ia adalah simbol integritas spiritual dalam olahraga modern. Keyakinan Ortodoksnya menjadi kerangka moral yang mengarahkan tindakan-baik saat memukul bola maupun membangun restoran amal. Kontribusinya melampaui lapangan, menyatukan iman, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam satu harmoni. Di era diupun atlet sering kehilangan identitas diri, Djokovic mengingatkan kita: prestasi tertinggi adalah ketika kesuksesan pribadi menjadi berkat bagi komunitas.
Jelajahi lebih dalam dinamika olahraga dunia hanya di score.co.id! Update harian, analisis pakar, dan cerita eksklusif siap memenuhi rasa ingin tahu Anda.












