Daftar Pelatih Real Betis
Menguak Jejak Para Nakhoda Andalusia
score.co.id – Di jantung Sevilla, ada klub yang bernyawa: Real Betis Balompié. Bukan hanya tentang gol atau trofi, melainkan tentang jiwa yang mengalir dari Lorca hingga Triana. Setiap pelatih yang pernah memimpin tim ini bukan sekadar pelatih—mereka adalah penjaga warisan, perajut taktik, dan pengukir identitas. Dari era Patrick O’Connell yang heroik hingga kedigdayaan Manuel Pellegrini, masing-masing meninggalkan catatan tak terlupakan. Artikel ini akan membawa Anda menyelami dinamika kepelatihan Real Betis, mengungkap bagaimana para nakhoda ini membentuk klub menjadi simbol kebanggaan Andalusia.
Era O’Connell: Revolusi Taktik dari Irlandia
Sebelum kedatangan Patrick O’Connell pada 1931, Real Betis hanyalah tim lokal yang bergulat di kasta kedua. Pelatih asal Dublin ini laksana angin segar: ia memperkenalkan sistem passing game yang revolusioner, jauh sebelum tiki-taka menjadi tren. Di bawah asuhannya, Betis meraih gelar La Liga 1934/1935—prestasi yang hingga kini belum terulang. O’Connell bukan hanya pahlawan di lapangan; ia juga menyelamatkan klub dari kebangkrutan dengan menggelar tur ke Amerika Latin saat Perang Saudara Spanyol pecah.
Ironisnya, sang pelatih justru meninggal dalam kemiskinan di London tahun 1959. Namun, namanya tetap harum di Benito Villamarín, diabadikan sebagai sosok yang membuktikan bahwa Betis bisa bersaing dengan raksasa seperti Madrid dan Barcelona.

Dekade Emas 1970-an: Iriondo dan Ciuman Pertama Copa del Rey
Pasca-kekacauan politik dan ekonomi, Betis bangkit di bawah Rafael Iriondo. Pelatih asal Basque ini dikenal dengan disiplin besi dan kemampuan membaca pertandingan. Final Copa del Rey 1977 menjadi momen ikonis: setelah imbang 2-2 melawan Athletic Bilbao, Betis menang 8-7 lewat adu penalti. Gol penentu dicetak oleh Hipólito Rincón, pemuda lokal yang menjadi simbol kebangkitan.
Iriondo juga membentuk inti tim yang solid, menggabungkan pengalaman José María García Verdugo dengan energi muda Lorenzo Sierra. Meski hanya bertahan dua musim, warisannya adalah fondasi mental yang memicu generasi berikutnya.
Serra Ferrer: Sang Putra Daerah yang Membawa Betis ke Eropa
Tak ada yang lebih membangkitkan emosi suporter selain melihat anak sendiri sukses. Lorenzo Serra Ferrer, lulusan akademi Betis, memenuhi kriteria itu. Di periode pertama (1994-1997), ia membentuk tim dengan DNA menyerang. Musim 1996/1997, Betis mencapai final Copa del Rey, meski kalah dari Barcelona.
Ketika kembali pada 2004, Ferrer membuat sejarah: membawa Betis ke Liga Champions untuk pertama kalinya. Kemenangan 1-0 atas Chelsea di Stamford Bridge lewat gol Dani masih dikenang sebagai momen magis. Ferrer membuktikan bahwa klub dari Sevilla bisa bersinar di panggung Eropa tanpa kehilangan jiwa lokalnya.
Pepe Mel: Cinta yang Tak Pernah Padam
Jika ada pelatih yang mencerminkan semangat “Viva el Betis aunque pierda!”, dialah Pepe Mel. Dua kali mempromosikan Betis ke La Liga (2011 dan 2015), Mel menjadi simbol ketahanan. Musim 2013/2014 adalah contoh terbaik: meski terdegradasi, timnya melaju ke perempat final Liga Europa, mengandalkan semangat giantslayer seperti Jorge Molina dan Rubén Castro.
Kelebihan Mel terletak pada manajemen locker room. Ia mampu memadukan pemain berpengalaman seperti Joaquín dengan pemain muda seperti Fabrián Ruiz, menciptakan harmoni yang langka. Meski akhirnya dipecat pada 2016, hubungannya dengan suporter tetap hangat—bukti bahwa di Betis, hati kadang lebih penting dari hasil.
Setién: Seniman yang Tak Sempat Mengukir Mahakarya
Quique Setién datang dengan janji sepak bola indah. Musim 2017/2018, Betis memukau dengan permainan tiki-taka ala Andalusia. Kemenangan 1-0 di markas Real Madrid lewat gol Antonio Sanabria menjadi puncaknya. Namun, seperti banyak seniman, Setién terlalu idealis. Kurangnya variasi serangan membuat tim mudah ditebak, dan ia pun mengundurkan diri pada 2019.
Warisan Setién? Ia membuktikan bahwa Betis bisa bermain cantik tanpa mengorbankan identitas. Pemain seperti Andrés Guardado dan Sergio Canales berkembang pesat di bawah sistemnya.
Pellegrini: Sang Insinyur yang Membangun Kembali Istana
Sejak 2020, Manuel Pellegrini membawa stabilitas ala insinyur. Gelar Copa del Rey 2022—dengan kemenangan dramatis atas Valencia lewat adu penalti—menjadi bukti kedewasaan tim. Pellegrini tak hanya mengandalkan bintang seperti Nabil Fekir, tetapi juga membangun pondasi lewat pemain muda seperti Juan Miranda dan Rodri.
Di musim 2024/2025, Betis mungkin belum konsisten di La Liga, tetapi visi Pellegrini jelas: menjadikan klub sebagai kekuatan tetap di sepak bola Spanyol. Dengan kontrak hingga 2026, ia punya waktu untuk mengeksekusi rencana jangka panjang.
Tantangan Abadi: Antara Identitas dan Ambisi
Real Betis selalu berjalan di garis tipis antara mempertahankan jiwa rakyat dan bersaing di level tertinggi. Akademi La Fabrica tetap menjadi sumber utama talenta, seperti terlihat pada Dani Ceballos yang kini bersinar di Real Madrid. Namun, tekanan untuk merekrut pemain mahal kerap mengancam filosofi ini.
Di sisi lain, dukungan suporter tak pernah surut. Dengan rata-rata 50.000 penonton per laga di Benito Villamarín, Betis memiliki modal sosial yang jarang dimiliki klub sekelasnya. Pelatih masa depan harus pandai memanfaatkan energi ini, sekaligus menjaga keseimbangan finansial.
Epilog: Nakhoda-Nakhoda yang Abadi di Hati
Dari O’Connell hingga Pellegrini, setiap pelatih Real Betis adalah cermin zamannya. Mereka bukan hanya pemburu trofi, tetapi juga penjaga nilai-nilai yang membuat Betis istimewa: keberanian, kegigihan, dan kebanggaan sebagai klub rakyat. Di tengah gempuran sepak bola modern yang serba komersial, Betis tetap setia pada akarnya—seperti syair lagu “Verde que te quiero verde” (Hijau, kau kucinta hijau).
Di sini, pelatih bukan sekadar pelatih. Mereka adalah bagian dari keluarga, yang kisahnya akan terus dikenang di setiap sudut Sevilla. Sebab, seperti kata pepatah lokal: “Una vez bético, siempre bético” (Sekali Betis, selamanya Betis). Dan dalam legenda hijau-putih ini, para nakhoda telah mengukir nama mereka dengan tinta emas.












