Score – Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk membebaskan 12 orang aktivis Greenpeace Indonesia yang ditangkap saat melakukan aksi protes di Bundaran Hotel Indonesia, Jumat (6/10).
Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, penangkapan 12 aktivis Greenpeace Indonesia oleh Polda Metro Jaya melanggar hak asasi Manusia (HAM).
“IPW mendesak Kapolda Metro Jaya membebaskan para aktivis yang ditangkap dan menghentikan kriminalisasi terhadap pihak yang menyampaikan pendapat di muka umum,” kata Sugeng dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Anggota PERADI itu menjelaskan bahwa menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi menjadi hukum positif di Indonesia.
Bahkan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 i ayat 4 UUD Tahun 1945.
Sementara pada Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mengatur bahwa: warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum, termasuk di dalamnya jaminan keamanan.
“Oleh karena itu, penangkapan sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia yang menggelar aksi dan menyampaikan pendapat di muka umum oleh Kepolisian Sektor Metro (Polsektro) Menteng, Polres Metro Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya jelas merupakan pelanggaran HAM,” katanya.
Sugeng menegaskan kriminalisasi terhadap hak menyatakan pendapat bisa kontraproduktif dengan upaya negara dalam mempromosikan Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia kepada dunia internasional.
Apalagi, Polri sebagai anak kandung reformasi yang membebaskan Polri dari watak militeristik dan pengaruh kemiliteran melalui UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), harusnya menjadikan Polri sebagai tonggak dalam mengawal tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dengan meninggalkan karakteristik atau budaya kekerasan, represif dalam penegakan hukum.
“Terutama terhadap masyarakat atau pihak-pihak yang menyatakan pendapat di muka umum,” ujarnya.
Sugeng juga mengingatkan institusi Polri harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum, dengan mengedepankan tindakan-tindakan yang bersifat imbauan, persuasif dan edukatif, bukan melalui tindakan represif dan kriminalisasi.
Hal ini menjadi ujian bagi Kapolri Jenderal PolisiListyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi secara menyeluruh, termasuk instrumen hukum internal kepolisian sehubungan dengan penegakan hukum terhadap aksi menyampaikan pendapat di muka hukum.
“Jangan sampai kepolisian menjadi ‘momok’ menakutkan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia,” imbuh Sugeng.
Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Pusat mengamankan 12 orang aktivis dari organisasi lingkungan internasional, Greenpeace, yang berunjuk rasa “Tolak Oligarki” di kolam Bundaran HI, Jakarta Pusat, Jumat (6/10), lantaran memasukkan alat peraga demo ke dalam kolam.
Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Polisi Komarudin menjelaskan unjuk rasa itu dimulai sekitar pukul 05.00-05.30 WIB dengan belasan orang yang merupakan aktivis Greenpeace datang ke Bundaran HI membawa atribut ornamen gurita raksasa tersebut.
Sejumlah petugas pun telah memberikan imbauan kepada aktivis, namun tidak diindahkan. Akhirnya, petugas membawa para aktivis ke Polsek Menteng untuk diperiksa lebih lanjut.
Komarudin juga menambahkan unjuk rasa yang dilakukan Greenpeace tersebut melanggar hukum lantaran tidak mengantongi izin dari pihak kepolisian.
Ia menegaskan pihaknya tidak melarang penyampaian pendapat di muka umum, namun harus tetap mengikuti aturan, salah satunya mengajukan izin kepada kepolisian.
Selain itu, ia juga mengimbau bahwa kebebasan berpendapat tidak bisa diartikan sebagai bebas sebebasnya, termasuk pada tempat melakukan unjuk rasa.