Score – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta kepada pemerintah agar sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diganti dengan sistem jalur undangan mengingat ditemukan banyak masalah pada pelaksanaannya.
“Berdasarkan pemantauan JPPI, pelaksanaan PPDB 2023 ini kian buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ganti sistem seleksi PPDB ini dengan sistem undangan,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan di Jakarta, Senin.
JPPI menyatakan terdapat banyak masalah dalam pelaksanaan PPDB 2023 seperti praktik manipulasi domisili, jual beli kursi, pengurangan kuota, sertifikat prestasi palsu hingga surat miskin palsu.
Kekacauan pelaksanaan PPDB 2023 tersebut terjadi pada tiga jalur yang disebut oleh JPPI sebagai jalur surga yakni jalur zonasi, jalur prestasi dan jalur afirmasi.
Hal itu mengakibatkan orang tua rela melakukan berbagai cara untuk bisa masuk melalui jalur surga ini karena jika gagal maka mereka harus memasukkan anaknya di sekolah swasta.
Oleh sebab itu, JPPI menegaskan pemerintah harus bertanggung jawab menghilangkan praktik kecurangan yang terjadi di lapangan karena semua masyarakat memiliki hak sama atas kemudahan akses mendapat sekolah.
Ia mengatakan mengganti sistem seleksi PPDB menjadi sistem undangan merupakan salah satu solusi karena pemerintah sendiri telah memiliki data anak usia sekolah serta yang lulus jenjang SD, SMP, dan SMA.
“Mestinya mereka ini langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah. Bukan disuruh rebutan bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalannya adalah 60 persen di tingkat SMP dan 70 persen di tingkat SMA,” katanya.
JPPI mengilustrasikannya seperti saat musim pemilu yaitu semua rakyat mendapat undangan untuk memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) sehingga tidak perlu seleksi masuk TPS karena semua mempunyai hak yang sama.
“PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah,” katanya.
Sementara dalam menjamin semua bisa mendapatkan sekolah yang layak, pemerintah harus melibatkan pihak swasta karena daya tampung negeri yang terbatas yakni sekitar 40 persen di SMP dan 30 persen di SMA dari total kebutuhan.
Penerapan itu pun mensyaratkan dua hal utama yakni kesepakatan pemerintah dan swasta terkait pembiayaan yang harus ditanggung pemerintah serta pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap unggulan, demikian UbaidMatraji.