Dele Alli pensiun dini
score.co.id –Sepakbola modern tak hanya tentang gol spektakuler atau trofi gemilang. Terkadang, ia menyisakan kisah pilu yang menggedor kesadaran kita. Dele Alli, nama yang pernah bersinar bak bintang di Liga Premier, kini di ujung jalan. Di usia 29 tahun, gelandang serang Inggris itu serius mempertimbangkan pensiun dini. Keputusan yang mengguncang dunia sepakbola ini bukan datang tiba-tiba. Ia adalah puncak gunung es dari rentetan tragedi profesional dan personal yang tersembunyi di balik sorotan lampu stadion.
Drama Como: Awal Keruntuhan
Januari 2025 menjadi titik harapan baru bagi Alli. Ia menyambut tawaran Como 1907, klub Serie A yang dipimpin legenda Chelsea, Cesc Fàbregas. Kontrak 18 bulan plus opsi perpanjangan seharusnya jadi batu loncatan. Nyatanya, segalanya berubah jadi mimpi buruk dalam hitungan minggu.

Alli hanya tampil sekali secara resmi untuk Como. Itu pun berakhir dengan bencana. Pada laga kontra AC Milan Maret silam, ia masuk sebagai pemain pengganti di menit 81. Sembilan menit berselang, wasit mengusirnya keluar lapangan. Tebakan sembrononya ke kaki Ruben Loftus-Cheek berubah menjadi kartu merah setelah intervensi VAR. Reaksi Fàbregas bak petir di siang bolong: “Dia mungkin tak pantas dapat kesempatan ini. Baru dua minggu latihan, tapi sudah buat kesalahan fatal!”
Insiden itu menjadi titik balik hubungan Alli dengan manajernya. Fàbregas-yang sedang membangun tim ambisius-langsung mendatangkan tiga gelandang baru: Martin Baturina, Máximo Perrone, dan Luca Mazzitelli. Alli pun tersingkir dari skema tim. Ia dilatih terpisah dari skuad utama, bahkan tak diajak dalam tur pramusim. Isolasi ini memicu pertanyaan serius: Apa sebenarnya yang terjadi pada pemain yang dulu dijuluki “The Next Lampard” itu?
Jejak Luka: Cedera dan Performa yang Terpuruk
Fisik yang Tak Lagi Bersetia
Sejak meninggalkan Tottenham pada 2022, karier Alli bagai rollercoaster yang terjun bebas. Peminjamannya ke Beşiktaş musim 2023 harus terpotong gegara cedera pangkal paha kronis. Otot-ototnya menyerah setelah tekanan bertahun-tahun. Ia absen hampir 12 bulan, melewatkan 748 hari tanpa sepakbola kompetitif. Debut di Como menjadi penampilan pertamanya setelah dua tahun lebih menganggur.
Tubuhnya tak lagi sanggup menipu waktu. Kecepatan eksplosif yang jadi senjatanya di masa jaya perlahan memudar. Statistik mencatat penurunan drastis: dribel suksesnya anjlok 60%, tembakan akurat menyusut 45% dibanding masa keemasannya di Spurs. Di era sepakbola yang makin fisik dan intens, Alli tertinggal sebagai bayangan diri sendiri.
Ketidakstabilan yang Jadi Rutinitas
Konsistensi-kata yang hilang dari kamus Alli belakangan ini. Di Everton, ia hanya mencetak satu gol dalam 13 penampilan. Di Beşiktaş, ia dipecat fans karena dianggap “tak punya semangat”. Bahkan di level internasional, 37 caps untuk Inggris hanya menghasilkan tiga gol setelah Piala Dunia 2018. Pola ini berulang: penampilan apik sesekali, lalu menghilang berbulan-bulan.
Luka Tersembunyi: Trauma yang Mengubah Segalanya
Masa Kecil yang Dicuri
Di balik senyum ikonik Alli, tersimpan derita yang baru ia buka pada Juli 2023. Dalam wawancara mengguncang bersama Gary Neville di The Overlap, ia mengungkap:
“Usia enam tahun, aku dilecehkan teman ibu kandungku. Usia tujuh, aku sudah merokok. Usia delapan, aku jual narkoba. Usia sebelas, mereka menggantungku dari jembatan…”
Ia juga menceritakan pengkhianatan orang tua kandungnya. Di usia dua belas, ia diadopsi keluarga baru. Tapi luka itu tak pernah benar-benar sembuh. Ia mencari pelarian dengan pil tidur-kecanduan yang ia sebut “rahasia kotor sepakbola”.
Mental Health: Musuh Tak Terlihat
Label “malas” yang disematkan José Mourinho saat di Tottenham ternyata menyimpan kebenaran pahit. Alli mengaku sempat ingin pensiun di usia 24: “Aku patah hati sampai berpikir begitu. Tapi orang hanya lihat aku malas, bukan rasa sakitku.”
Setelah kembali dari Beşiktaş, ia masuk rehabilitasi selama enam minggu. Keputusan itu ia sebut “pertaruhan terberat, tapi satu-satunya jalan”. Sayangnya, sepakbola tak memberinya ruang pulih. Kritik Fàbregas pasca-kartu merah di Como menjadi pukulan telak bagi mentalnya yang sedang rapuh.
Faktor Penentu: Mengapa Pensiun Jadi Pilihan?
Ditinggalkan Sistem
Filosofi Fàbregas di Como tak cocok dengan gaya Alli. Pelatih asal Spanyol itu menginginkan gelandang serang yang gesit dan defensif-hal yang sulit dipenuhi Alli pasca-cedera. Perekrutan Baturina (20 tahun) dan Perrone (22 tahun) adalah sinyal: Como memilih masa depan, bukan romantisme masa lalu.
Beban Ganda: Fisik dan Psikis
Cedera pangkal paha menghancurkan mobilitasnya. Sementara itu, trauma masa kecil membuatnya kehilangan motivasi. Seorang psikolog olahraga yang enggan disebut namanya memberi analisis: “Trauma masa kecil mengganggu perkembangan otak. Dele bermain dengan ‘mode bertahan hidup’, bukan kreativitas.”
Industri Sepakbola yang Tak Memahami
Kasus Alli menguak kegagalan sistem dukungan mental di sepakbola. Klub lebih fokus pada fisik dan taktik, mengabaikan beban psikologis pemain. Padahal, riset terbaru FIFPro (2025) menunjukkan 38% pesepakbola profesional alami gangguan mental-angka yang naik 15% sejak pandemi.
Refleksi Akhir: Pelajaran dari Tragedi Alli
Dele Alli bukan sekadar “bintang yang gagal”. Ia korban dari industri yang memuja hasil instan, tapi abai pada manusia di balik jersey. Keputusannya mempertimbangkan pensiun adalah tamparan bagi sepakbola modern:
- Kesehatan Mental Bukan AksesoriKasus Alli membuktikan bahwa dukungan psikologis harus jadi prioritas, bukan sekadar program tambahan. Klub besar seperti Real Madrid dan Bayern Munich kini mulai merekrut psikiater khusus tim-tapi itu sudah terlambat bagi Alli.
- Label “Malas” Membunuh KarakterTuduhan malas yang kerap dilemparkan pelatih dan media justru memperburuk keadaan. Alli membuktikan: yang tampak sebagai kemalasan seringkali adalah jeritan minta tolong.
- Transisi Pascakarir yang TerabaikanPensiun dini bisa jadi petaka tanpa persiapan matang. Asosiasi Pesepakbola Profesional Inggris (PFA) mencatat 65% eks pemain bangkrut dalam lima tahun setelah gantung sepatu. Alli perlu sistem pendukung yang tak ia dapatkan di lapangan.
Penutup: Lagu Terakhir untuk Dele
Jika benar ini akhir jalan, Dele Alli meninggalkan lebih dari statistik. Ia mengingatkan kita bahwa di balik gaji fantastis dan sorotan kamera, pesepakbola tetap manusia rentan. Kisahnya adalah seruan untuk reformasi dukungan mental di sepakbola-agar tak ada lagi bintang yang padam sebelum waktunya.
Seperti kata pepatah lama: “Sepakbola tanpa hati hanyalah permainan.” Dan hari ini, hati salah satu anak ajaibnya telah terkoyak.
Ikuti perkembangan terbaru dunia sepakbola hanya di score.co.id-Sumber berita paling tepercaya !












