SCORE.CO.ID – Peta pertempuran terakhir telah digambar. Di Grup B, di gerbang terakhir menuju Piala Dunia 2026, Timnas Indonesia dihadapkan pada dua raksasa dari Asia Barat: Arab Saudi dan Irak. Jadwal pun telah ditetapkan.
Pada 8 Oktober 2025 mendatang, Garuda akan menantang Arab Saudi di kandangnya, lalu tiga hari kemudian, mereka akan berhadapan dengan Irak. Misinya tunggal dan jelas: menjadi juara grup untuk merebut tiket otomatis ke panggung dunia.
Sebuah pertanyaan besar pun menggema di seluruh negeri: mungkinkah ini saatnya? Mampukah kita?
Tapi bisa dijawab dengan nada santai? Pasalnya melihat sejarah belum lama Indonesia bisa memenangkan laga melawan Arab Saudi di era Shin Tae-yong dengan skor meyakinkan 2-0.
Warisan Shin Tae-Yong dengan hasil manis melawan Arab Saudi itu menjadi cukup bekal untuk bisa menghadapi tim timur tengah lainnya.
Untuk menjawabnya, kita tak perlu melihat jauh ke masa depan. Cukup tengok kembali jejak perjalanan heroik Garuda di babak ketiga.
Di sana, mereka sudah pernah menari dengan para raksasa Asia Barat. Arab Saudi, sang pengoleksi tiga trofi Piala Asia, dan Bahrain, jawara Piala Teluk 2025, datang dengan reputasi mentereng.
Namun, semua kehebatan itu seakan luruh di hadapan semangat juang Merah Putih.
Ingatkah Anda saat Garuda membungkam publik Arab Saudi? Di kandang lawan, sebuah gol dari Sandy Walsh membuat Indonesia unggul lebih dulu sebelum laga berakhir imbang 1-1. Lalu, saat giliran mereka bertamu ke Indonesia, dua gol magis dari Marselino Ferdinan mengirim Arab Saudi pulang dengan tangan hampa, takluk 2-0.
Bagaimana dengan Bahrain? Kisahnya pun serupa. Setelah menahan imbang The Reds 2-2 di markas mereka, satu gol tunggal di kandang sendiri sudah cukup untuk memastikan kemenangan. Catatan ini bukan sekadar statistik, ini adalah bukti. Bukti bahwa Garuda punya penawar untuk raksasa-raksasa dari Barat. Ini adalah modal manis yang membisikkan harapan.
Tetapi, ada satu nama yang masih menghadirkan bayang-bayang keraguan: Irak. Ya, benar, tim inilah yang dua kali menaklukkan Indonesia di babak kedua. Luka itu masih terasa.
Namun, mari kita lihat lebih jeli. Garuda yang kalah dari Irak kala itu bukanlah Garuda yang sekarang. Saat itu, barisan pertahanan kita belum sekokoh hari ini. Armada baru belum tiba. Nama-nama seperti Jay Idzes, Calvin Verdonk, Mees Hilgers, hingga Kevin Diks belum menjadi bagian dari tembok pertahanan kita. Lini tengah belum mengenal Eliano Reijnders dan Joey Pelupessy. Di bawah mistar, belum ada pilihan sekelas Maarten Paes atau Emil Audero. Bahkan ujung tombak seperti Ole Romeny pun belum bergabung.
Kini, kekuatan kita telah berlipat ganda. Sementara kita bertumbuh, Irak justru limbung. Mereka bahkan telah memecat pelatih Jesus Casas dan menunjuk Graham Arnold sebagai nahkoda baru, sebuah tanda bahwa fondasi mereka sedang goyah.
Peluang itu nyata, terhampar di depan mata. Namun, masih ada satu pekerjaan rumah terakhir untuk sang arsitek, Patrick Kluivert. Ia harus menyembuhkan satu penyakit kronis: mentalitas saat bermain tandang. Kekalahan telak 1-5 dari Australia dan 0-6 dari Jepang adalah pengingat yang menyakitkan bahwa Garuda terkadang masih demam panggung saat jauh dari rumah.
Inilah tantangan terakhirnya. Menempa mental Thom Haye dan kawan-kawan menjadi sekeras baja, agar mereka bisa tampil buas dimanapun mereka berada.
Jadi, dengan memori manis sebagai bekal, armada baru sebagai senjata, dan satu rintangan mental yang harus ditaklukkan, pertanyaan itu kembali menggema, lebih keras dari sebelumnya:
Waktunya lolos Piala Dunia 2026, Timnas Indonesia? Jawabannya akan mulai saksikan pada 8 Oktober nanti.












