Naturalisasi Malaysia Gagal
Score.co.id – Dalam arena sepak bola internasional yang kian memanas, setiap negara berlomba mencari terobosan demi memperkuat tim nasionalnya. Salah satu jurus ampuh yang kerap dipilih adalah naturalisasi, sebuah program yang memungkinkan talenta asing berseragam timnas. Namun, tak semua kisah naturalisasi berakhir manis, seperti yang dialami Malaysia baru-baru ini. Ambisi besar Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) untuk menggaet pemain naturalisasi justru kandas di tengah jalan. Kini, tirai penyebab utama kegagalan itu tersingkap, membuka mata kita tentang beratnya tantangan yang mendera sepak bola Negeri Jiran. Apa sebenarnya yang terjadi di balik layar? Mari kita bedah lebih dalam.
Coba bayangkan, timnas kesayangan Anda tiba-tiba harus mengubur mimpi berlaga di kancah internasional, hanya karena terjegal urusan birokrasi dan kebijakan yang kaku. Itulah pil pahit yang harus ditelan para pecinta sepak bola Malaysia ketika program naturalisasi pemain mereka mandek di tahun 2025. Sebuah program yang digadang-gadang sebagai jalan pintas menuju kejayaan justru terseok-seok, menyisakan tanda tanya besar: mengapa ini bisa terjadi? Adakah secercah harapan untuk masa depan? Dalam artikel ini, kita akan mengupas tuntas akar permasalahan kegagalan program naturalisasi Malaysia, lengkap dengan data terbaru 2025, serta imbasnya bagi masa depan sepak bola di sana.

Berita Utama
Maret 2025 menjadi saksi bisu ketika Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) mengumumkan penghentian sementara program naturalisasi pemain untuk tim nasional. Keputusan ini sontak mengagetkan banyak pihak, terutama mengingat FAM sebelumnya santer dikabarkan tengah bergerilya memantau pemain keturunan di Eropa. Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Chow Yu Hu, angkat bicara, menjelaskan bahwa penghentian ini tak lain disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pemerintah. Beliau menegaskan, urusan naturalisasi pemain sepenuhnya berada di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri (KDN) dan harus tunduk pada hukum serta kebijakan yang berlaku.
Salah satu ganjalan utama yang membuat FAM gagal memenuhi syarat adalah kriteria yang begitu ketat: calon pemain naturalisasi harus bermain di Liga Super Malaysia minimal lima tahun berturut-turut di bawah naungan FAM. Tak hanya itu, si pemain juga harus berusia minimal 18 tahun dan belum pernah memperkuat negara lain di level senior. Sejarah juga mencatat, FAM pernah merasakan pahitnya penolakan naturalisasi, bahkan oleh FIFA, seperti kasus Mats Deijl yang ditolak karena garis keturunannya berasal dari buyut, bukan nenek, yang tak memenuhi standar FIFA.
Kegagalan ini, ditambah dengan tersingkirnya Malaysia dari babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, memicu gelombang kekecewaan publik dan desakan agar kursi Presiden FAM segera diganti. Akhirnya, pada tahun 2025, Datuk Joehari Mohd Ayub terpilih sebagai Presiden FAM yang baru, membawa serta secercah harapan akan perubahan.
Analisis & Opini
Mengapa Program Naturalisasi FAM Gagal?
Penghentian program naturalisasi FAM bukan sekadar insiden administratif biasa, melainkan cerminan nyata dari kebijakan yang kaku dan minimnya koordinasi antarlembaga. Salah satu biang kerok utamanya adalah kriteria yang mengharuskan pemain bermain di liga domestik selama lima tahun berturut-turut. Di era sepak bola modern, di mana talenta global bertebaran di liga-liga top Eropa, persyaratan ini terasa usang dan jauh dari realistis. Coba bandingkan dengan Indonesia, yang jauh lebih luwes dalam merekrut pemain keturunan dari Eropa, sebuah langkah jitu yang dilakukan PSSI di bawah komando Erick Thohir. Indonesia berhasil menaturalisasi pemain-pemain muda yang berkarier di liga kelas atas, tanpa embel-embel syarat bermain di liga domestik terlebih dahulu.
CEO Harimau Malaya, Rob Friend, secara jujur mengakui bahwa Malaysia sulit meniru jejak Indonesia, dan alasannya beragam. Pertama, populasi dan diaspora Indonesia jauh lebih masif, dengan lebih dari 270 juta jiwa dan diaspora yang tersebar luas, termasuk sekitar 2 juta warga Indonesia di Belanda. Ini jelas memberi Indonesia keunggulan telak dalam mencari pemain keturunan berbakat. Sementara Malaysia, dengan populasi 33 juta jiwa, memiliki keterbatasan serupa. Kedua, kebijakan naturalisasi Malaysia cenderung terpaku pada pemain asing yang sudah lama malang melintang di liga lokal, bukan pemain keturunan muda yang berkiprah di Eropa. Pendekatan ini tentu saja memperlambat proses regenerasi tim nasional.
Media Malaysia bahkan sempat menyindir kilatnya proses naturalisasi di Indonesia, dengan ungkapan yang menusuk, “Paspor Malaysia itu mahal, bukan cuma pakai peci.” Sindiran ini menggambarkan betapa ruwet dan bertele-tele proses naturalisasi di Malaysia, sebuah kontras mencolok dengan Indonesia yang mampu menaturalisasi pemain dalam hitungan hari, seperti kasus Emil Audero yang hanya butuh 16 hari.
Namun, ada hal menarik yang patut dicatat: meskipun program naturalisasi FAM secara umum dihentikan, beberapa pemain naturalisasi tetap berhasil bergabung dengan timnas pada tahun 2025. Gabriel Palmero, bek kiri kelahiran Spanyol, dan Hector Hevel dari Belanda, adalah contoh nyatanya. Ini menunjukkan bahwa di balik penghentian program besar, upaya naturalisasi individu masih terus berjalan, meskipun tentu saja dengan batasan yang ada.
Tantangan Birokrasi dan Kebijakan
Selain kriteria yang kaku, minimnya dukungan pemerintah menjadi faktor krusial. Menteri Pemuda dan Olahraga secara eksplisit menyatakan bahwa FAM tidak sepenuhnya patuh terhadap hukum dan kebijakan yang berlaku, yang pada akhirnya memicu penghentian program. Ini mengindikasikan adanya perbedaan pandangan antara ambisi FAM dan kebijakan imigrasi yang berada di bawah wewenang KDN.
Di sisi lain, proses naturalisasi di Malaysia memang sarat kerumitan. Berdasarkan Perlembagaan Persekutuan, naturalisasi diatur dengan sangat ketat, dengan persyaratan residensi minimal sepuluh tahun, karakter yang baik, dan penguasaan Bahasa Melayu yang mumpuni. Khusus untuk konteks sepak bola, persyaratan tambahan dari FAM justru semakin memberatkan. Bandingkan dengan Indonesia, yang tampil lebih fleksibel dan sigap dalam memproses naturalisasi pemain, terutama bagi mereka yang memiliki ikatan darah.
Dampak pada Daya Saing Sepak Bola Malaysia
Gagalnya program naturalisasi ini memberikan dampak yang signifikan terhadap daya saing Malaysia di kancah internasional. Saat negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand terus melaju pesat dengan suntikan talenta naturalisasi, Malaysia justru tertinggal di belakang. Ketidakmampuan FAM dalam memanfaatkan talenta global jelas menghambat proses regenerasi timnas.
Sebagai gambaran nyata, Indonesia berhasil melaju ke babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, sementara Malaysia harus gigit jari karena tersingkir. Ini adalah pukulan telak bagi ambisi sepak bola Malaysia, yang sempat berani bermimpi tampil di Piala Dunia.
Namun, di tengah badai, selalu ada harapan. Dengan terpilihnya Datuk Joehari Mohd Ayub sebagai Presiden FAM yang baru, ekspektasi akan adanya perubahan kebijakan melambung tinggi. Pada Februari 2025, beliau mengklaim akan ada pengumuman pemain naturalisasi baru, dengan target delapan pemain untuk Kualifikasi Piala Asia 2027. Ini menjadi bukti bahwa meskipun program besar dihentikan, upaya naturalisasi masih bergulir, meski dengan pendekatan yang lebih selektif dan terarah.
Dampak & Prediksi
Implikasi Jangka Pendek
Dalam waktu dekat, mandeknya program naturalisasi FAM berarti Malaysia harus mengandalkan penuh pada talenta lokal yang sudah ada. Ini bisa menjadi kesempatan emas bagi pemain muda domestik untuk menunjukkan kualitas mereka, namun di sisi lain, juga berisiko menurunkan daya saing di level internasional. Tanpa suntikan talenta asing yang segar, Malaysia mungkin akan kesulitan bersaing dengan negara-negara yang lebih agresif dalam merekrut pemain naturalisasi.
Implikasi Jangka Panjang
Jika kebijakan naturalisasi tidak segera direvisi, Malaysia berisiko tertinggal jauh di belakang negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sepak bola adalah olahraga yang sangat dinamis, dan talenta global adalah aset yang tak ternilai harganya. Negara seperti Indonesia dan Vietnam terus berinovasi dengan strategi naturalisasi yang lebih luwes, sementara Malaysia seolah terjebak dalam belenggu birokrasi yang kaku.
Namun, pintu perubahan selalu terbuka. Pemerintah bisa mempertimbangkan jalur naturalisasi khusus untuk talenta olahraga, seperti yang telah dilakukan banyak negara lain. Langkah ini akan memungkinkan Malaysia menarik pemain berkualitas tanpa harus mengorbankan identitas nasional.
Prediksi Masa Depan
Di bawah kepemimpinan baru di FAM, kemungkinan revisi kebijakan naturalisasi sangat terbuka lebar. Jika FAM dan KDN bisa bekerja sama lebih erat, program naturalisasi bisa dihidupkan kembali dengan kriteria yang lebih realistis. Misalnya, mengurangi syarat bermain di liga domestik atau memberikan pengecualian khusus untuk pemain keturunan.
Selain itu, tekanan dari publik dan media juga bisa menjadi pendorong bagi pemerintah untuk lebih mendukung program naturalisasi. Sepak bola adalah olahraga yang memancing gairah tinggi, dan kegagalan di kancah internasional sering kali menjadi katalisator perubahan. Jadi, bukan hal yang mustahil jika di masa depan kita akan melihat Malaysia mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel.
Kutipan Penting
Untuk memperkaya sudut pandang kita, mari simak beberapa kutipan dari narasumber terkait:
- Datuk Joehari Mohd Ayub, Presiden FAM: “Kami menyadari tantangan yang dihadapi, tapi kami berkomitmen untuk membawa perubahan. Naturalisasi adalah salah satu jalan, tapi kami juga fokus pada pengembangan talenta lokal.”
- Rob Friend, CEO Harimau Malaya: “Kami tidak bisa meniru Indonesia begitu saja. Mereka punya keunggulan populasi dan diaspora yang luas. Tapi, kami harus cerdik mencari cara lain untuk bersaing.”
- Chow Yu Hu, Menteri Pemuda dan Olahraga: “Naturalisasi adalah urusan KDN, dan FAM harus mematuhi aturan yang ada. Tidak ada jalan pintas dalam hal ini.”
Penutup
Kisah kegagalan program naturalisasi Malaysia adalah cerminan dari kebijakan yang kaku dan kurangnya koordinasi antarlembaga. Meskipun ada upaya untuk berbenah, tantangan administratif dan birokrasi masih menjadi batu sandungan utama. Namun, dengan kepemimpinan baru di FAM dan tekanan yang tak henti dari publik, secercah harapan untuk perubahan mulai tampak. Sepak bola Malaysia sangat membutuhkan suntikan talenta segar, dan program naturalisasi yang efektif bisa menjadi kunci untuk bersaing di level internasional. Jelas, jalan ke depan tidak akan mudah, tapi bukan berarti mustahil.
Jangan lupa ikuti Score.co.id untuk info lainnya!












