2 pemain Legenda PSIM yogyakarta
score.co.id – Di jantung budaya Jawa, PSIM Yogyakarta tak sekadar klub sepak bola. Ia adalah simbol perjuangan, kebanggaan daerah, dan penjaga nilai-nilai historis yang mengalir deras sejak 1929. Dari rahim “Laskar Mataram” ini lahir sosok-sosok legenda yang tak hanya mencetak gol atau mencatat clean sheet, tetapi mengukir identitas klub lewat dedikasi luar biasa. Dua nama yang tak lekang oleh waktu: Ony Kurniawan, sang penjaga gawang setia, dan Seto Nurdiyantoro, pemain sekaligus arsitek dari pinggir lapangan.
Sekilas Sejarah dan Kebesaran PSIM Yogyakarta
Berdiri pada 5 September 1929 sebagai Perserikatan Sepakraga Mataram (PSM), klub ini setahun kemudian resmi bernama PSIM. Julukan “Laskar Mataram” bukan tanpa makna. Ia menyandang warisan Kesultanan Mataram, menciptakan ikatan emosional yang mendalam dengan masyarakat Yogyakarta. Tak hanya itu, PSIM tercatat sebagai satu dari tujuh pendiri Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), menempatkannya di jajaran elite perintis sepak bola nasional.

Prestasi klub ini terukir di berbagai era. Di masa Perserikatan, mereka juara tahun 1932 dan runner-up (1931, 1939, 1940). Di era modern, dua promosi epik menjadi bukti nyata: Juara Divisi I 2005 yang mengantarkan PSIM ke Divisi Utama (kini Liga 1), dan yang terbaru, Gelar Juara Liga 2 2024/2025 setelah mengalahkan Bhayangkara Presisi Indonesia FC di final dramatis. Prestasi terbaru ini bukan sekadar promosi, melainkan kebangkitan setelah 20 tahun menanti kembali ke puncak.
Ony Kurniawan – Sang Penjaga Gawang Setia Laskar Mataram
Dedikasi yang Menggetarkan Hati
Ony Kurniawan bukan sekadar kiper. Ia adalah simbol kesetiaan murni dalam sepak bola modern. Bergabung sejak 2001 saat PSIM baru terdegradasi dan tengah krisis, Ony bertahan selama 15 tahun penuh (2002-2017). Julukan “One Man One Club” melekat kuat. Yang membuatnya istimewa: Ia menolak tawaran menggiurkan dari klub seperti Persema Malang dan Perseman Manokwari. Bahkan panggilan Timnas Indonesia tahun 2004 ia tolak dengan alasan yang jarang terdengar: ingin dekat dengan sang ibu.
“Saya memilih PSIM dan keluarga. Ini tentang rasa memiliki, bukan soal uang atau popularitas,” ujar Ony dalam suatu kesempatan.
Alasannya sederhana namun mendalam: nilai-nilai keluarga dan lokalitas Yogyakarta lebih ia junjung. Di tengah masa sulit-degradasi, krisis finansial, ditinggal suporter-Ony menjadi pilar ketenangan. Ia adalah jangkar yang menjaga semangat tim tetap menyala.
Kontribusi Monumental: Kunci Kebangkitan 2005
Tahun 2005 menjadi saksi kontribusi terbesar Ony. Sebagai kiper utama, ia menjadi benteng kokoh yang membawa PSIM Juara Divisi I, mengakhiri penantian promosi ke kasta tertinggi. Final melawan Persiwa Wamena berkesudahan 2-1 untuk kemenangan Laskar Mataram, dengan salah satu gol dicetak Azhari.
Perjalanan menuju puncak itu penuh liku. Ony mengingat betul masa-masa kelam:
- Degradasi tahun 2000.
- Krisis finansial parah (2001-2002) yang memaksa PSIM hanya mengandalkan pemain lokal.
- Hampir promosi tahun 2003, tapi gagal di playoff karena selisih gol.
“Kemenangan 2005 buah dari kekompakan total: manajemen, pemain, suporter. Kami sering sharing langsung dengan fans. Itu energi luar biasa,” kenang Ony. Perannya tak cuma di bawah mistar; sebagai senior, ia perekat tim dan penghubung dengan komunitas pendukung.
Warisan Abadi: Teladan Loyalitas
Setelah pensiun 2017, warisan Ony tetap hidup. Ia bukti bahwa kesetiaan masih mungkin di sepak bola modern. Sebagai putra asli Jogja yang membela klub kotanya di suka-duka, ia jadi simbol identitas lokal PSIM. Fans tak hanya ingat penyelamatannya, tapi juga integritas dan ketulusannya.
Dalam dunia di mana pemain kerap berpindah demi kontrak besar, Ony mengajarkan bahwa cinta pada klub dan tanah kelahiran bisa mengalahkan segalanya. Ia bukan legenda karena trofi semata, tapi karena jiwa yang ia tanamkan di jantung Laskar Mataram.
Seto Nurdiyantoro – Jejak Emas di Hati Penggemar PSIM
Peran Ganda: Dari Lapangan Hingga Kursi Pelatih
Hubungan Seto Nurdiyantoro dengan PSIM bagai lingkaran setia: dimulai sebagai pemain, lalu kembali sebagai pelatih-berulang kali. Total pengabdiannya: hampir 30 tahun! Karir bermainnya terbagi dalam tiga periode: 1995-1998, 2006-2009, dan 2011-2013 (sebelum pensiun). Meski sempat “petualang” dengan membela PSS Sleman, Persiba Bantul, dan Pelita Solo, PSIM selalu menjadi “rumah”.
“Setiap kembali ke PSIM, rasanya seperti pulang. Saya merasa punya utang budi pada klub ini,” kata Seto.
Karir kepelatihannya pun dimulai di PSIM:
- Debut pertama: 2013-2015.
- Kembali di 2021.
- Periode ketiga: musim 2024/2025 (walau tak diakhiri penuh).
Uniknya, kesuksesan pelatihnya justru diawali di “tetangga”: membawa PSS Sleman juara Liga 2 2018. Prestasi inilah yang membuat manajemen PSIM yakin ia bisa mengulangi keberhasilan serupa.
Kontribusi Melampaui Peran
Sebagai gelandang, Seto memberi stabilitas dan kepemimpinan di lini tengah. Namun dampak terbesarnya justru dari pinggir lapangan. Meski masa kepelatihan 2024/2025 di PSIM berakhir lebih awal (digantikan pelatih lain), fondasi yang ia bangun berkontribusi pada kesuksesan tim.
Bahkan saat PSIM akhirnya juara Liga 2 2024/2025 di bawah pelatih berbeda, Seto menunjukkan sikap sportif:
- Memberi ucapan selamat.
- Mendoakan kesuksesan PSIM di Liga 1.
Manajemen PSIM pun secara terbuka berterima kasih atas dedikasinya. “Seto bagian penting dari perjalanan ini. Kontribusinya tak ternilai,” ujar salah satu petinggi klub.
Simbol Kesinambungan dan Evolusi
Seto adalah jembatan antar generasi PSIM. Dari pemain muda tahun 90-an, menjadi pemain senior, lalu pelatih-ia mengalami langsung dinamika klub selama tiga dekade. Status legendarisnya lahir dari:
- Loyalitas berulang: Selalu kembali ke PSIM.
- Adaptasi peran: Sukses sebagai pemain dan pelatih.
- Ikatan emosional: PSIM adalah “rumah” baginya.
Ia mewakili siklus hidup klub: jatuh-bangun, belajar, lalu bangkit lagi. Ketika PSIM promosi ke Liga 1 2025, jejak Seto ada di sana-baik sebagai bagian masa lalu, maupun fondasi masa kini.
Epilog: Warisan yang Tak Tergantikan
Ony Kurniawan dan Seto Nurdiyantoro mungkin berbeda peran, tapi keduanya menyatu dalam semangat yang sama: PSIM adalah jiwa. Ony, dengan kesetiaan absolutnya, mengajarkan arti komitmen pada warna biru-putih. Seto, dengan pengabdian lintas generasi, membuktikan bahwa cinta pada klub bisa diekspresikan dalam banyak bentuk.
Keberhasilan PSIM juara Liga 2 2024/2025 dan kembali ke Liga 1 adalah bukti bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan para legenda ini masih hidup. Mereka bukan sekadar nama di sejarah klub, melainkan roh yang terus menginspirasi setiap pemain yang memakai jersey Laskar Mataram hari ini.
Di tengah hingar-bingar sepak bola modern, kisah Ony dan Seto mengingatkan kita: sepak bola tak melulu soal trofi dan transfer. Ia juga tentang hati, identitas, dan kesetiaan pada tanah kelahiran.
Jelajahi lebih dalam sejarah, prestasi, dan berita terkini PSIM Yogyakarta hanya di score.co.id!












